Skip to main content

#Damai

Damai. Aku terteguk oleh bau kedamaian itu. Begitu menusuk. Aku menoleh. Seujung ruangan menjadi seonggok kotak sempit. Menjadi lantunan melodi maha sempurna. Yah, damai.
Lagi-lagi dia damai. Tapi bukan aku, aku itu riuh. Sekian. Bukan pula selesai. Aku adalah manusia riuh yang tak pernah ingin berhenti bersuara. Berisik ungkapnya tak pupus ku dengar. Namun, aku butuh kedamaian. Ku toleh sudah irama-irama merdu pembawa damai. Jika ku ingat sudah lama ternyata aku bersamanya. Tak ku ingat persisnya sejak kapan. Namun,yah lama. Tak terasa sudah, aku cukup mengerti bahwa kedamaian itu bukan ada pada dirinya, tapi pada diriku ini, yah ada pada diriku yang riuh.

Semakin ku ingat aku semakin yakin bahwa kedamaian itu memang milikiku, ada pada diriku, ada disini. Jika perlu aku bertanya pada dinding kamarku, sudah sebanyak apa dia mendengar riuh lantunanku, jelas dia bosan. Aku sendiri bosan. Tapi lagi-lagi kedamaian tidak pernah bosan bersamaku. Aku ingin selalu membawanya, bersamanya. Bersama kedamaian yang ada padaku.

Tapi aku bohong.
Sudah begitu lama aku berbohong pada dinding kamarku. Aku berbohong.
Aku berkata bahwa aku akan selalu menjaga kedamaian itu. Tapi. Sepertinya kedamaian masih ingin masuk kedalam relung lain. Bukan relungku?

Tapi aku bohong.
Aku bohong lagi.
Aku bohong pada duri yang menjadikan permata palsu. Yah, aku bohong. Bukan untuk kedamaian itu ada. Dia hanya berpura-pura. Dia hanya ingin aku senang. Dia hanya tak ingin melihatku sendiri. Dan dengan terpaksa dia mengikuti aliran nafasku.

Tidak, aku berdusta. Aku berdusta.
Sudah bukan perkara mudah untuk berdiskusi dengan kedamaian yang selalu menyertaiku. Sudah bukan hal mudah untuk menyeka gelombang.

Tapi, aku dan kedamaianku, masa lalu, kini, dan nanti.
Aku dan kedamaianku.

Bagiku kedamain akan bersamaku selalu, memberikan energi-energi positif. Damai dan tidak riuh. Damai dan tidak banyak suara, damai dan selalu mendamaikan.

Biarlah aku belajar agar kedamai tak hilang dari aliran nafasku, biarlah aku belajar betapa kedamaian itu bukan untuk dicapai begitu saja, tapi diusahakan, diperjuangkan, disabari, dan diikhlaskan..

Inner Peace!


Depok, 00.59 WIB
January, 29 2012
FW :*

Comments

Popular posts from this blog

TE466 Self-branding Assignment: Fikriyah Winata

One day, my roommate told me: “Fik, you should take a rest. You have been working too long, take a break and don’t be too hard to yourself.”   I suddenly stop writing and calculating some math on GRE problem sets—at that time, I was preparing for my PhD application. Her thoughts about how hard I worked stopped me for seconds and gave me time to think and ask, “Have I been working too hard?”   I personally never think that I work ‘hard enough’, I always feel never enough in working. I always demand more to myself to improve my quality to be a better person. I take everything very seriously including something very small for others. To me, there is no unnecessary thing. Everything is important, and everything has its own value. And I will be taking every single work I have seriously, even it is only doing some dishes at my kitchen home.  My roommate’s perspective then made me really counted the duration I was studying, the number of problem sets I had solved, and how...

Operasi Sapu Lidi

Salah satu contoh operasi hitung sapu lidi Sumber gambar :  dayufunmath.wordpress.com Usiaku saat itu masih enam tahun. Hari itu Kakekku resmi mendaftarkan aku sekolah. Ku lihat lagi selembar ijazah yang dikampit oleh Kakekku. Ku perhatikan baik-baik. Ada fotoku dua bulan lalu. Lucu. "Itu apa Kek?" aku menunjuknya. "Ini ijazah sekolah Neng yang dulu di Jakarta. Buat daftar sekolah disini" kemudian Kakekku menjelaskan. Tidak satu orangpun diantara barisan pendaftaran sekolah itu yang membawa lembaran bernama ijazah sepertiku. Nampaknya cuma aku seorang. Senin diminggu pertama sekolah. Aku sangat gembira. Seragamku kini putih merah terpisah. Rok rempel jahitan Nenekku dan kemeja putih bekas sekolah Taman Kanak-Kanakku dulu di Jakarta masih terpakai dan layak. Meski seragamku bekas, tetap terlihat paling bercahaya. Entah? Rasa-rasanya semua anak disini seragamnya tidak disetrika, apalagi mengkilat seperti seragamku. Sejak Ibuk...

ReviewBuku: Mendadak Haji [Prie GS]

Mendadak Haji by Prie GS My rating: 5 of 5 stars Jujur saya belum familiar dengan penulis. Saya randomly membeli buku dengan topik "berhaji" karena saya mempunyai target untuk menunaikan ibadah haji sebelum saya berumur 35tahun. Semoga Allah Swt. menghendaki. Aamiin. Kembali kepada Pak Prie GS dalam bukunya saya jujur, kadang bingung. Beliau ini sangat genuine sekali menulisnya. Menyampaikan perasaannya tanpa men-delete sedikitpun. Sangat genuine . Bahkan yang menurut saya sangat berkesan adalah beliau menuliskan ketidaksukaan beliau akan sesuatu, suasa hati, dan berbagai kekesalan-kekesalannya. Tidak banyak dari kita yang berani mengutarakan hal tersebut. Apalagi dalam sebuah buku yang akan dibaca oleh ribuan bahwan jutaan orang mungkin. Bagi saya, membaca buku Pak Prie GS bukan hanya memberikan insight dan pengetahuan mengenai haji, gambaran bagaimana 'berat'-nya ibadah haji, tetapi beyond dari itu semua. Pak Prie GS berhasil mendidik saya bahwa, kesena...