Salah satu contoh operasi hitung sapu lidi Sumber gambar : dayufunmath.wordpress.com |
Usiaku saat itu masih enam tahun. Hari itu Kakekku resmi mendaftarkan aku sekolah.
Ku lihat lagi selembar ijazah yang dikampit oleh Kakekku. Ku perhatikan baik-baik. Ada fotoku dua bulan lalu. Lucu.
"Itu apa Kek?" aku menunjuknya.
"Ini ijazah sekolah Neng yang dulu di Jakarta. Buat daftar sekolah disini" kemudian Kakekku menjelaskan.
Tidak satu orangpun diantara barisan pendaftaran sekolah itu yang membawa lembaran bernama ijazah sepertiku. Nampaknya cuma aku seorang.
Senin diminggu pertama sekolah. Aku sangat gembira. Seragamku kini putih merah terpisah. Rok rempel jahitan Nenekku dan kemeja putih bekas sekolah Taman Kanak-Kanakku dulu di Jakarta masih terpakai dan layak. Meski seragamku bekas, tetap terlihat paling bercahaya. Entah? Rasa-rasanya semua anak disini seragamnya tidak disetrika, apalagi mengkilat seperti seragamku.
Sejak Ibuku memutuskan pulang kampung, kami kembali kepada kehidupan asal kami. Orang kampung. Kampung ini sudah ku tinggalkan satu tahun yang lalu. Ibuku menikah dengan Ayah Tiriku dan aku ikut ke Kota Dualisme bernama Jakarta. Aku bersekolah Taman Kanak-Kanak disana. Karena saat mendaftar sekolah TK aku sudah berumur lima tahun maka aku yang ketika itu masih bungkam dengan bahasa indonesia langsung duduk di kelas B.
Aku beruntung karena separuh otakku belum ternodakan dengan pikiran apapun sehingga mudah sekali menyerap pelajaran dan mempelajari bahasa indonesia. Aku yang empat tahun sejak di lahirkan hanya mendengar dan mengucapkan bahasa sunda, harus berkomunikasi dengan bahasa indonesia di sekolah TK. Satu bulan pertama aku tak berdaya. Hanya mengangguk tanpa tahu harus merespon apa? Istirahat, ku habiskan dengan duduk seorang diri di tangga sekolah.
Satu tahun terlewati aku menjadi anak Kota Metropolis yang pintar. Pintar membaca, pintar menghitung, mewarnai gambar, juga menggunting dan melipat. Kini aku akan meneruskan petualangan hidup di bangku sekolah baru. SDN Cisampang 1.
Aku baru seminggu pindah ke kampung lagi dan mulai bersosialisasi dengan segala kondisi dan tempat yang aku rindukan. Keluargaku, Kakek-Nenekku, dan orang-orang yang aku kenal dimasa balita.
SDN Cisampang 1, aku dan teman-temanku...
Ini sekolahku yang baru, bathinku berkata. Ku amati perlahan bangunan yang sesungguhnya tidak asing bagiku. Beberapa kali aku melewatinya. Tetapi tidak pernah masuk ke dalamnya, tidak pernah melihat nafasnya.
Ruang kelas hanya berjumlah tiga. Kemudian ada ruang guru dan kepala sekolah sekaligus merangkap fungsi menjadi perpustakaan dan 'laboratorium'. Aku menyebutnya 'laboratorium' karena ada 2 patung boneka manusia lengkap dengan juntai dalaman-dalamannya seperti hati, jantung, dan organ dalam yang terlihat. Naluriku menebak ini laboratorium IPA. Mataku kemudian menemukan replika tata surya, matahari dan planet-planet lain. Ada gelas ukur dan beberapa contoh tumbuhan. Sebagian benda sudah pernah kulihat di Jakarta.
Sekolah baruku sangat sederhana. Kami memiliki lapangan upacara. Cukup untuk upacara hari senin. Sementara anak laki-laki bermain bola tidak di lapangan sekolahku. Ada lapangan di depan Puskesmas yang dibatasi perkebunan karet milik swasta itu lebih luas, lebih leluasa untuk berolahraga.
Aku menunggu kapan masuk kelas? Kami berbaris. Tidak ada satupun dari kami yang diantar oleh orangtua masing-masing. Minggu lalu saat pendaftaran beberapa dari kami diantar oleh orangtua atau Kakek-Neneknya termasuk aku. Namun hari ini tidak satupun ku lihat batang hidung bertengger disana. Kebanyakan dari mereka sudah kembali ke habitat aslinya. Sawah, Ladang, ataupun Kebun Karet untuk nyadap.
Rata-rata kami sudah kenal satu sama lain. Tidak perlu lagi berkenalan. Aku sudah tahu mereka semua. Teman-teman balitaku. Sekalipun ada murid dari Kampung tetangga palingan hanya mesem-mesem saja. Tidak ada ritual perkenalan seperti di sekolah lamaku. Toh nanti juga kenal sendiri.
Aneh, kenapa Guru kami tidak kunjung datang. Ini sudah jam 8 pagi. Bukannya harusnya pelajaran sudah dimulai? Aku mengira-ngira saja sudah berapa lama aku berdiri. Aku ini anak-anak, tetapi aku bisa melihat matahari bukan? Matahari sudah naik.
Tidak ada satupun wajah kepanikan atau sejenisnya dari muka teman-teman 'baruku' ini. Mereka biasa saja. Berdiri, saling ledek, dan saling mengatai. Kadang ada yang berlarian dari barisan. Sudahlah, aku berusaha memasuki dunia mereka lagi. Dunia yang ku tinggalkan selama satu tahun.
Seorang Bapak kemudian datang. Mengampit sebuah buku, entah buku apa? Lalu menyapa kami semua..
"Selamat pagi anak-anak..."
"Selamat pagi Pak Guru.." Tidak ada yang menjawab, hanya suaraku yang menggelegar.
Hari itu hanya dilalui dengan perkenalan guru. Belajar menulis A, B, C...
Dari tiga puluh lebih murid di kelas ini hanya tiga orang yang bukunya kotor oleh tulisan. Mereka tidak mampu menggerakan pensil mereka untuk tulisan A,B,C... yang sempurna. Mataku sayup. Jika begini, kemungkinan besok akan mengulang A, B, C... lagi..
Satu minggu berlalu. Dugaanku benar. Kami seolah hanya belajar Matematika, dengan materi pengenalan angka 1, 2, 3,... 10. Materi kami berjalan sangat lambat untuk menjelaskan bagaimana penjumlahan 1+1, 1+2, 6+5, dan lainnya membutuhkan tiga kali pertemuan. Sementara jangankan belajar membaca, mengenal huruf saja belum semuanya mampu. Belum semua teman-teman sekelasku hafal dengan huruf A hingga Z. Aku bingung.
Kemudian aku mengadu kepada Kakekku, guru hidupku. Hari itu ingin rasanya aku belajar yang lain. Aku mulai bosan dengan belajar mengenal huruf yang tidak kunjung selesai. Sementara belajar membaca belum tersentuh juga. Kemudian Kakekku memberiku majalah-majalah tua miliknya. Majalah-malajah yang dibawa oleh tamu dari kota kemudian ditinggalkan begitu saja. Kakek juga memberiku beberapa buku 'jadul' yang entah darimana beliau peroleh. Seperti buku-buku kumpulan cerpen, cerita, atau buku catatan pribadi seseorang. Belakangan aku tahu, bahwa buku itu dari anak-anak mahasiswa yang pernah menginap di rumah Kakek saat melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata). Kelelahanku akan belajar mengenal huruf dan berhitung angka single terobati dengan majalah-majalah, buku-buku, dan hitungan ratusan bersama Kakekku siang itu.
Di sekolah aku masih tetap belajar yang sama. Kami seperti hanya memiliki beberapa pelajaran saja, ditambah dengan belajar menulis huruf sambung. Tidak banyak temanku yang bisa menggerakan tangannya untuk menulis huruf sambung. Terlebih buku tulis kami harus kami garis double dulu untuk kemudian berfungsi sebagai buku huruf sambung. Aku mengikuti semua materi sekolah. Karena aku cinta sekolah.
Empat bulan sudah kami belajar. Besok kami akan menerima rapot (laporan hasil belajar) caturwulan 1. Aku hanya mengikuti saja, meski THB (Tes Hasil Belajar) sudah kami lalui tetapi aku tidak merasakan itu adalah THB. Kami hanya menyobek kertas dari buku tulis kami bagian tengah. Lalu diberi beberapa soal dari papan tulis hitam kami. Lalu kami disuru mengerjakannya dan dikumpullkan. Seratus kali lebih mudah dari soal tes kelulusanku tetika TK dahulu. Aku terus mengikuti. Kakekku selalu bilang, kemampuanku harusnya sudah di kelas 5 sekolahan ini. Tetapi ikuti saja, lagipula aku masih bisa belajar dengan sang maha guruku.
Semua nilaiku sempurna. Hanya nilai kesenian yang aneh, kami tidak pernah mengerjakan apapun tahu-tahu sudah ada nilai. Jika aku ingat-ingat pernah disuru membawa sapu lidi untuk menyapu kelas kami ketika piket kelas, lalu dari sapu lidi itukah penilaiannya? Apanya yang dinilai? Aku hanya menerima. Aku dinyatakan Ranking 1 dikelasku. Kemudian Kakekku ditawari guru agar aku dipindahkan langsung ke kelas 3. Guruku khawatir aku bosan di kelas 1. Pelajar yang begitu-begitu saja bagiku, sementara aku sudah mampu belajar yang lain. Kakekku menolak. Membiarkan aku menjalani proses pembelajaran yang sesungguhnya. Menikmati masa kanak-kanakku dengan tidak terburu-buru.
Mengetahui hal tersebut aku tidak marah kepada Kakekku. Karena beliau itu lebih pintar dari guru di kelasku. Aku bisa belajar apa saja. Aku suka semuanya, terutama sejarah. Beliau manusia terpintar yang pernah aku kenal. Pensiunan Veteran Pejuang Kemerdekaan RI. Tetapi tanpa sepengatahuan beliau aku masuk diam-diam ke kelas 3. Sehari saja aku bersumpah.
Hari itu aku diam-diam masuk ke kelas 3. Kelas tiga masuk jam sepuluh. Kelasnya persis kelasku tadi pagi. Ruangannya sama, hanya manusia yang menempatinya berbeda. Ketika kelas 1 bubar aku lantas keluar tetapi tidak meninggalkan sekolah. Nenek dan Kakekku tidak akan curiga karena sepulang sekolah biasanya aku tidak langsung kerumah. Lokasi rumah ke sekolah berjalan kaki sekitar 45 menit melewati perkebunan, perbukitan, dan sungai. Biasanya pulang sekolah kami main perosotan di tebing bukit, main air di sungai, atau sekedar mencari kayu bakar di kebun karet. Kami semua begitu, inilah masa kecil kami yang membahagiakan.
Pelan-pelan aku masuk. Ada anak kelas 3 yang memperhatikan aku. Jelas saja ukuran tubuhku yang super kecil dan lincah serta Kakekku yang kadung terkenal di Kampung membuat semua anak kelas 3 mengenalku. Aku duduk di bangku kedua dari depan. Aku hanya berucap "Aku menunggu Aa Zaenal, pulang sekolah mau ke kebun.." sedikit mengarang, toh sepupuku Aa Zaenal pasti mau menemaniku ke kebun sepulang sekolah.
Hari ini di kelas 3 sedang pelajar Bahasa Indonesia. Mereka belajar membaca "Ini Ibu Budi, Ini Bapak Budi..." Aku melihat mereka memegang buku pelajaran. Bertuliskan 1A, aku pandangi erat-erat buku itu. Kemungkinan di ruangan guru itu ada buku tersebut.
Sepulangnya wajahku mendung. "Kenapa tidak semua anak kelas 3 bisa membaca buku a?" aku bertanya pada sepupuku seperjalanan ke Kebun.
"Pih, Aa tahu Pipih udah bisa baca. Bahkan waktu Pipih pulang dari Jakarta Pipih lebih jago baca dari Aa. Kan Pipih sekolah TK. Anak-anak disini cuma tahu huruf dan angka di sekolah ini Pih. Pipih ajarin mereka, supaya bisa baca dan hitung juga kayak Pipih" dadaku tiba-tiba sesak. Ternyata memang aku yang 'kepintaran' bukan mereka yang tidak mampu dan bukan juga karena guruku tidak mampu mengajar. Dan karena sekolah kami yang pendidikannya masih rendah. Naluri kekanak-kanakanku berujar, Aku bisa jadi Guru. Asik!
Esoknya aku mendatangi guru kelasku, Pak Eddy. Aku meminta izin mengambil buku 1A di perpustakaan yang ruangannya satu ruangan dengan ruang guru dan 'laboratorium'. Aku izin mengambil lima buku. Aku juga memohon izin kepada Pak Eddy untuk mengajari teman-temanku jika mereka mau belajar denganku. Hari itu aku ditemani oleh Omel teman sebangku-ku dan Ijah, anak kampung tetangga yang demam belajar membaca denganku.
Hari itu juga empat buku itu aku bagikan kepada teman-teman sekelasku, satunya aku pegang untuk belajar. Mulai hari ini aku akan mengajari teman-temanku membaca, menulis, menggambar dan mewarnai. Sepulang sekolah kami bermain sebentar seperti biasa, lalu aku mengizinkan mereka ke rumah Kakekku untuk belajar. Aku senang!
Operasi Hitung Sapu Lidi
Sudah satu tahun lebih aku bersekolah disini. Aku bahagia, belajar dengan sang maha gurupun terus berlanjut. Aku ibarat bersekolah di dua dunia. Sekolahku dan sekolah Kakekku. Hanya saja, Kakekku sudah tua dan sakit-sakitan jadi kelasku dengan maha guru sering tidak ada jika maha guru sakit. Belajarku berubah jadi sesi memijati betis kakinya dan menyuapinya makan. Maha guru adalah nyawa kedua bagiku, aku menyayanginya. Sungguh.
Kini aku kelas 2. Hitungan Matematika sudah mulai puluhan dan semakin menantang, meskipun hitunganku sudah jauh dari puluhan. Dan hari ini kami akan belajar hingga ratusan. Guruku menerangkan cara-caranya di papan tulis hitam kami. Sementara di sudut kelas aku melihat banyak teman-temanku yang mulai menguap dan garuk-garuk kepala tanda bingung dan tidak mengerti.
Aku bingung harus bagaimana membuat mereka tidak bosan dengan kelas ini. Disini aku murid, dan guruku di depan sana. Seperti biasa, saat pelajaran aku sering mengacungkan tangan sekedar untuk bertanya atau menjawab pertanyaan guruku. Hari ini aku bertanya pada guruku, adakah cara yang efektif dan cepat untuk menghitung cepat. Aku paham dan sering latihan bersama Kakek, tetapi aku tidak yakin bisa mengajari teman-temanku yang sudah ngantuk duluan di kelas.
Guruku berujar, kamu bisa pakai apa saja untuk membatu operasi hitungan metematika. Aku berpikir keras. Hitungan biji kancing 1-100 yang aku miliki hanya satu. Alat hitung salah satu peninggalanku waktu TK dahulu tidak mungkin aku pakai bersamaan dengan teman-teman lain. Kami tidak bisa pakai bersamaan. Hanya satu.
Siang ini aku tidak bermain. Insiden jatuh dari tebing dan berantem dengan anak laki-laki kelas 3, membuat aku tidak diizinkan bermain. Belum lagi aku harus memikirkan bagaimana caranya aku mentransfer ilmu hitungan kepada teman-teman kelasku ini? Aku langsung pulang sekolah bersama Ijah. Ijah benar-benar setia kepadaku, katanya dia berhutang gara-gara menjadi anak Kampung Tetangga pertama yang sudah bisa membaca. Gara-gara aku. Menurutku, itu semua karena Ijah yang berusaha keras dan hampir tiap hari ke rumah Kakek. Belajar membaca bersamaku.
Tiba-tiba aku teringat sapu lidi. Sapu lidi yang membuat nilai kesenianku hanya bertengger 7. Nilai kesenian yang diambil dari membawa sapu lidi ke sekolah untuk menyapu kelas. Aku sebal saat itu. Bukannya iri kepada Ijah yang nilai keseniannya 8, tetapi lebih ke apa sih pelajaran kesenian ini? Ijah bercerita padaku ketika pembagian rapot di kelas, katanya sapu lidi yang dia bawa besar bulatannya. Sapunya padat dan ikatan sapu lidinya dianyam dari tali kering sehingga ada unsur-unsur seninya. Sementara daun kelapa yang Ijah pilih adalah daun kelapa yang sudah cokelat bukan daun kelapa hijau seperti yang kami gunakan untuk membuat sapu lidi kami. Ijah berpesan, jika nanti diminta sekolah untuk membawa sapu lidi lagi maka ia sudah pasti akan membantuku membuat sapu lidi betulan. Aku tidak meminta, tetapi Ijah yang menawarkan diri untuk membantuku nanti.
Sapu lidi, aku memandanginya dalam-dalam. Aku mengambil beberapa lidi dari ikatan sapu lidi di kamar Nenek. Sapu lidi itu digunakan untuk menepok-nepok kasur dan bantal saat dijemur, atau Nenek sering kali mengepak-ngepakan sapu lidi di tempat tidur sebelum kami tidur.
Aku masih berpikir. Hari ini aku tidak terima teman-teman belajar dahulu di rumah Kakek. Sebelum aku menemukan metode perhitungan yang membantu teman-temanku belajar Matematika. Kemudian aku memotong-memotong beberapa lidi dengan ukuran kira-kira sepuluh centimeter. Ku miliki beberapa lidi berukuran sepuluh centimeter. Iseng-iseng ku kelompokan potongan potongan itu. Aku memotong-motong lagi hingga jumlah semuanya seratus.
Kini aku memiliki seratus lidi ukuran sepuluh centimeter. Aku mulai mengoperasikan perhitungan matematika baik penjumlahan, pengurangan, maupun pembagian dengan lidi-lidi ini. Teman-temanku baru sampai penjumlahan puluhan hingga seratus. Meskipun aku sudah paham perkalian dan pembagian. Ini akan menjadi sarana yang menarik. Lidi ini pasti akan jadi mainan bagi teman-temanku. Operasi perhitungan matematika dengan sapu lidi ini lebih seru dibandingkan hanya menghalusinasikan banyaknya angka di kepala. Aku menyukai cara ini. Ini sangat menarik, pikirku. Aku kemudian mengoperasikannya seorang diri di rumah. Mengelompokan angka-angka yang aku inginkan. Mengoperasikan perhitungan apapun dengan angka berapapun yang aku suka. Ini menarik, sungguh!
Keesokan harinya, aku bertemu Pak Eddy. Aku menawarkan metode sapu lidi-ku. Pak Eddy sangat senang. Beliau akan memberikan PR kepada anak-anak di kelas untuk membuat potongan sapu lidi sebanyak seratus. Lalu sapu lidi itu akan kami gunakan untuk belajar berhitung. Tidak usah bingung, guruku dari kelas 1 hingga kelas 3 tetaplah Pak Eddy. Guru kami hanya 3, satu merangkap kepala sekolah. Begitulah sekolah kami.
Pulang sekolah kami beramai-ramai memotong sapu lidi. Membuat seratus buah lidi berukuran sepuluh centimeter. Kemudian bergantian mengoperasikan hitungan kami. Kami belajar berhitung dengan sapu lidi. Kami tertawa ternyata lidi-lidi ini bisa juga membantu belajar berhitung kami. Teman-temanku bahagia, mereka menjadi tiba-tiba jatuh cinta pada matematika. Lidi ini sungguh sederhana. Halusinasi dan fantasi angka di kepada mereka belum mampu menjadikan mereka menyukai matematika, tetapi lidi yang sederhana ini mampu membuat mereka menyukai matematika, dengan cara mereka. Terima kasih sapu lidi. Terima kasih atas imajinasi yang menemani kami belajar matematika.
Dikelas sudah tidak ada lagi menguap dan menggaruk-garuk kepala di pojokan saat pelajaran matematika. Teman-teman membuat kelas seseru-serunya pasar. Mereka bertukar lidi, berlari meminjam lidi, menambahkan lidi miliknya dengan lidi temannya, mengurangkan juga membagi-bagi lidi kepada teman-temannya. Tanpa mereka sadari mereka telah belajar pembagian. Aku tersenyum. Terima kasih.
Untuk teman-teman SD-ku yang kini entah dimana? Untuk Ijah yang sudah beranak 3. Aku rindu kalian...
Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Blog Gerakan Indonesia Berkibar
Semoga sedikit menginspirasi dan membuat kita bersyukur, bahwa di luar sana masih banyak orang yang tidak sehebat dan seberuntung kita.
Depok, 23 Oktober 2012
Salam Pendidikan,
Fikriyah Winata
Di sekolah aku masih tetap belajar yang sama. Kami seperti hanya memiliki beberapa pelajaran saja, ditambah dengan belajar menulis huruf sambung. Tidak banyak temanku yang bisa menggerakan tangannya untuk menulis huruf sambung. Terlebih buku tulis kami harus kami garis double dulu untuk kemudian berfungsi sebagai buku huruf sambung. Aku mengikuti semua materi sekolah. Karena aku cinta sekolah.
Empat bulan sudah kami belajar. Besok kami akan menerima rapot (laporan hasil belajar) caturwulan 1. Aku hanya mengikuti saja, meski THB (Tes Hasil Belajar) sudah kami lalui tetapi aku tidak merasakan itu adalah THB. Kami hanya menyobek kertas dari buku tulis kami bagian tengah. Lalu diberi beberapa soal dari papan tulis hitam kami. Lalu kami disuru mengerjakannya dan dikumpullkan. Seratus kali lebih mudah dari soal tes kelulusanku tetika TK dahulu. Aku terus mengikuti. Kakekku selalu bilang, kemampuanku harusnya sudah di kelas 5 sekolahan ini. Tetapi ikuti saja, lagipula aku masih bisa belajar dengan sang maha guruku.
Semua nilaiku sempurna. Hanya nilai kesenian yang aneh, kami tidak pernah mengerjakan apapun tahu-tahu sudah ada nilai. Jika aku ingat-ingat pernah disuru membawa sapu lidi untuk menyapu kelas kami ketika piket kelas, lalu dari sapu lidi itukah penilaiannya? Apanya yang dinilai? Aku hanya menerima. Aku dinyatakan Ranking 1 dikelasku. Kemudian Kakekku ditawari guru agar aku dipindahkan langsung ke kelas 3. Guruku khawatir aku bosan di kelas 1. Pelajar yang begitu-begitu saja bagiku, sementara aku sudah mampu belajar yang lain. Kakekku menolak. Membiarkan aku menjalani proses pembelajaran yang sesungguhnya. Menikmati masa kanak-kanakku dengan tidak terburu-buru.
Mengetahui hal tersebut aku tidak marah kepada Kakekku. Karena beliau itu lebih pintar dari guru di kelasku. Aku bisa belajar apa saja. Aku suka semuanya, terutama sejarah. Beliau manusia terpintar yang pernah aku kenal. Pensiunan Veteran Pejuang Kemerdekaan RI. Tetapi tanpa sepengatahuan beliau aku masuk diam-diam ke kelas 3. Sehari saja aku bersumpah.
Hari itu aku diam-diam masuk ke kelas 3. Kelas tiga masuk jam sepuluh. Kelasnya persis kelasku tadi pagi. Ruangannya sama, hanya manusia yang menempatinya berbeda. Ketika kelas 1 bubar aku lantas keluar tetapi tidak meninggalkan sekolah. Nenek dan Kakekku tidak akan curiga karena sepulang sekolah biasanya aku tidak langsung kerumah. Lokasi rumah ke sekolah berjalan kaki sekitar 45 menit melewati perkebunan, perbukitan, dan sungai. Biasanya pulang sekolah kami main perosotan di tebing bukit, main air di sungai, atau sekedar mencari kayu bakar di kebun karet. Kami semua begitu, inilah masa kecil kami yang membahagiakan.
Pelan-pelan aku masuk. Ada anak kelas 3 yang memperhatikan aku. Jelas saja ukuran tubuhku yang super kecil dan lincah serta Kakekku yang kadung terkenal di Kampung membuat semua anak kelas 3 mengenalku. Aku duduk di bangku kedua dari depan. Aku hanya berucap "Aku menunggu Aa Zaenal, pulang sekolah mau ke kebun.." sedikit mengarang, toh sepupuku Aa Zaenal pasti mau menemaniku ke kebun sepulang sekolah.
Hari ini di kelas 3 sedang pelajar Bahasa Indonesia. Mereka belajar membaca "Ini Ibu Budi, Ini Bapak Budi..." Aku melihat mereka memegang buku pelajaran. Bertuliskan 1A, aku pandangi erat-erat buku itu. Kemungkinan di ruangan guru itu ada buku tersebut.
Sepulangnya wajahku mendung. "Kenapa tidak semua anak kelas 3 bisa membaca buku a?" aku bertanya pada sepupuku seperjalanan ke Kebun.
"Pih, Aa tahu Pipih udah bisa baca. Bahkan waktu Pipih pulang dari Jakarta Pipih lebih jago baca dari Aa. Kan Pipih sekolah TK. Anak-anak disini cuma tahu huruf dan angka di sekolah ini Pih. Pipih ajarin mereka, supaya bisa baca dan hitung juga kayak Pipih" dadaku tiba-tiba sesak. Ternyata memang aku yang 'kepintaran' bukan mereka yang tidak mampu dan bukan juga karena guruku tidak mampu mengajar. Dan karena sekolah kami yang pendidikannya masih rendah. Naluri kekanak-kanakanku berujar, Aku bisa jadi Guru. Asik!
Esoknya aku mendatangi guru kelasku, Pak Eddy. Aku meminta izin mengambil buku 1A di perpustakaan yang ruangannya satu ruangan dengan ruang guru dan 'laboratorium'. Aku izin mengambil lima buku. Aku juga memohon izin kepada Pak Eddy untuk mengajari teman-temanku jika mereka mau belajar denganku. Hari itu aku ditemani oleh Omel teman sebangku-ku dan Ijah, anak kampung tetangga yang demam belajar membaca denganku.
Hari itu juga empat buku itu aku bagikan kepada teman-teman sekelasku, satunya aku pegang untuk belajar. Mulai hari ini aku akan mengajari teman-temanku membaca, menulis, menggambar dan mewarnai. Sepulang sekolah kami bermain sebentar seperti biasa, lalu aku mengizinkan mereka ke rumah Kakekku untuk belajar. Aku senang!
Operasi Hitung Sapu Lidi
Sudah satu tahun lebih aku bersekolah disini. Aku bahagia, belajar dengan sang maha gurupun terus berlanjut. Aku ibarat bersekolah di dua dunia. Sekolahku dan sekolah Kakekku. Hanya saja, Kakekku sudah tua dan sakit-sakitan jadi kelasku dengan maha guru sering tidak ada jika maha guru sakit. Belajarku berubah jadi sesi memijati betis kakinya dan menyuapinya makan. Maha guru adalah nyawa kedua bagiku, aku menyayanginya. Sungguh.
Kini aku kelas 2. Hitungan Matematika sudah mulai puluhan dan semakin menantang, meskipun hitunganku sudah jauh dari puluhan. Dan hari ini kami akan belajar hingga ratusan. Guruku menerangkan cara-caranya di papan tulis hitam kami. Sementara di sudut kelas aku melihat banyak teman-temanku yang mulai menguap dan garuk-garuk kepala tanda bingung dan tidak mengerti.
Aku bingung harus bagaimana membuat mereka tidak bosan dengan kelas ini. Disini aku murid, dan guruku di depan sana. Seperti biasa, saat pelajaran aku sering mengacungkan tangan sekedar untuk bertanya atau menjawab pertanyaan guruku. Hari ini aku bertanya pada guruku, adakah cara yang efektif dan cepat untuk menghitung cepat. Aku paham dan sering latihan bersama Kakek, tetapi aku tidak yakin bisa mengajari teman-temanku yang sudah ngantuk duluan di kelas.
Guruku berujar, kamu bisa pakai apa saja untuk membatu operasi hitungan metematika. Aku berpikir keras. Hitungan biji kancing 1-100 yang aku miliki hanya satu. Alat hitung salah satu peninggalanku waktu TK dahulu tidak mungkin aku pakai bersamaan dengan teman-teman lain. Kami tidak bisa pakai bersamaan. Hanya satu.
Siang ini aku tidak bermain. Insiden jatuh dari tebing dan berantem dengan anak laki-laki kelas 3, membuat aku tidak diizinkan bermain. Belum lagi aku harus memikirkan bagaimana caranya aku mentransfer ilmu hitungan kepada teman-teman kelasku ini? Aku langsung pulang sekolah bersama Ijah. Ijah benar-benar setia kepadaku, katanya dia berhutang gara-gara menjadi anak Kampung Tetangga pertama yang sudah bisa membaca. Gara-gara aku. Menurutku, itu semua karena Ijah yang berusaha keras dan hampir tiap hari ke rumah Kakek. Belajar membaca bersamaku.
Tiba-tiba aku teringat sapu lidi. Sapu lidi yang membuat nilai kesenianku hanya bertengger 7. Nilai kesenian yang diambil dari membawa sapu lidi ke sekolah untuk menyapu kelas. Aku sebal saat itu. Bukannya iri kepada Ijah yang nilai keseniannya 8, tetapi lebih ke apa sih pelajaran kesenian ini? Ijah bercerita padaku ketika pembagian rapot di kelas, katanya sapu lidi yang dia bawa besar bulatannya. Sapunya padat dan ikatan sapu lidinya dianyam dari tali kering sehingga ada unsur-unsur seninya. Sementara daun kelapa yang Ijah pilih adalah daun kelapa yang sudah cokelat bukan daun kelapa hijau seperti yang kami gunakan untuk membuat sapu lidi kami. Ijah berpesan, jika nanti diminta sekolah untuk membawa sapu lidi lagi maka ia sudah pasti akan membantuku membuat sapu lidi betulan. Aku tidak meminta, tetapi Ijah yang menawarkan diri untuk membantuku nanti.
Sapu lidi, aku memandanginya dalam-dalam. Aku mengambil beberapa lidi dari ikatan sapu lidi di kamar Nenek. Sapu lidi itu digunakan untuk menepok-nepok kasur dan bantal saat dijemur, atau Nenek sering kali mengepak-ngepakan sapu lidi di tempat tidur sebelum kami tidur.
Aku masih berpikir. Hari ini aku tidak terima teman-teman belajar dahulu di rumah Kakek. Sebelum aku menemukan metode perhitungan yang membantu teman-temanku belajar Matematika. Kemudian aku memotong-memotong beberapa lidi dengan ukuran kira-kira sepuluh centimeter. Ku miliki beberapa lidi berukuran sepuluh centimeter. Iseng-iseng ku kelompokan potongan potongan itu. Aku memotong-motong lagi hingga jumlah semuanya seratus.
Kini aku memiliki seratus lidi ukuran sepuluh centimeter. Aku mulai mengoperasikan perhitungan matematika baik penjumlahan, pengurangan, maupun pembagian dengan lidi-lidi ini. Teman-temanku baru sampai penjumlahan puluhan hingga seratus. Meskipun aku sudah paham perkalian dan pembagian. Ini akan menjadi sarana yang menarik. Lidi ini pasti akan jadi mainan bagi teman-temanku. Operasi perhitungan matematika dengan sapu lidi ini lebih seru dibandingkan hanya menghalusinasikan banyaknya angka di kepala. Aku menyukai cara ini. Ini sangat menarik, pikirku. Aku kemudian mengoperasikannya seorang diri di rumah. Mengelompokan angka-angka yang aku inginkan. Mengoperasikan perhitungan apapun dengan angka berapapun yang aku suka. Ini menarik, sungguh!
Keesokan harinya, aku bertemu Pak Eddy. Aku menawarkan metode sapu lidi-ku. Pak Eddy sangat senang. Beliau akan memberikan PR kepada anak-anak di kelas untuk membuat potongan sapu lidi sebanyak seratus. Lalu sapu lidi itu akan kami gunakan untuk belajar berhitung. Tidak usah bingung, guruku dari kelas 1 hingga kelas 3 tetaplah Pak Eddy. Guru kami hanya 3, satu merangkap kepala sekolah. Begitulah sekolah kami.
Pulang sekolah kami beramai-ramai memotong sapu lidi. Membuat seratus buah lidi berukuran sepuluh centimeter. Kemudian bergantian mengoperasikan hitungan kami. Kami belajar berhitung dengan sapu lidi. Kami tertawa ternyata lidi-lidi ini bisa juga membantu belajar berhitung kami. Teman-temanku bahagia, mereka menjadi tiba-tiba jatuh cinta pada matematika. Lidi ini sungguh sederhana. Halusinasi dan fantasi angka di kepada mereka belum mampu menjadikan mereka menyukai matematika, tetapi lidi yang sederhana ini mampu membuat mereka menyukai matematika, dengan cara mereka. Terima kasih sapu lidi. Terima kasih atas imajinasi yang menemani kami belajar matematika.
Dikelas sudah tidak ada lagi menguap dan menggaruk-garuk kepala di pojokan saat pelajaran matematika. Teman-teman membuat kelas seseru-serunya pasar. Mereka bertukar lidi, berlari meminjam lidi, menambahkan lidi miliknya dengan lidi temannya, mengurangkan juga membagi-bagi lidi kepada teman-temannya. Tanpa mereka sadari mereka telah belajar pembagian. Aku tersenyum. Terima kasih.
Untuk teman-teman SD-ku yang kini entah dimana? Untuk Ijah yang sudah beranak 3. Aku rindu kalian...
Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Blog Gerakan Indonesia Berkibar
Semoga sedikit menginspirasi dan membuat kita bersyukur, bahwa di luar sana masih banyak orang yang tidak sehebat dan seberuntung kita.
Depok, 23 Oktober 2012
Salam Pendidikan,
Fikriyah Winata
Jadi ingat jaman SD dulu siswa diwajibkan membawa 100 buah lidi seukuran batang korek api.
ReplyDelete