Skip to main content

Sebuah Surat Untuk MIT

Dear MIT,

Saya deg-degan saat menulis surat ini. Saya pikir saya mungkin hanya sedang tidur disiang hari dan bermimpi. Dan saat itu saya bertemu dengan Anda.

Tiga tahun yang lalu saya sempat mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program pertukaran mahasiswa dengan beasiswa penuh dari pemerintah Amerika. Saya berkesempatan untuk mengikuti kegiatan perkuliahan di sebuah universitas bernama Iowa State University, untuk program IEOP (Intensive English and Orientation Program). Ada banyak hal yang membuat saya mampu menjelaskan kepada diri saya bahwa saya harus kembali ke Amerika. Saya juga pernah mengikuti kuliah musim panas di Jerman, namun entah kenapa kegiatan tersebut tidak membuat saya ingin kembali mengikuti kelas-kelas di Jerman, saya tidak berkata kelas perkuliahan di Amerika lebih baik daripada Jerman. Namun lebih kepada tingkat kecocokannya dengan saya secara pribadi. Saya punya alasan yang kuat untuk kembali ke tanah Paman Sam, alasan terbesar adalah encouragement yang selalu diberikan teacher-teacher saya saat awal-awal saya mengikuti perkuliahan di ISU. Semua hal selalu berat diawal-awal, itu yang saya pahami. Tetapi ketika semua hal tersebut menjadi kebiasaan, maka tidak ada yang sulit. Begitu juga dengan saat-saat pertama saya mengikuti perkuliahan di ISU bersama dengan banyak mahasiswa internasional dari negara lain. Banyak hal yang kemudian harus disesuaikan, banyak hal yang kadang membuat saya terkaget-kaget dan tidak terbayangkan sebelumnya. 

Ada seorang teacher yang sangat sulit sekali dipahami segala gaya mengajarnya diawal perkuliahan. Dia menganggap semua mahasiswa mempunyai kapasitas pemahaman yang sama. Saat itu untuk kelas speaking saya mendapatkan the highest level  (saya juga tidak tahu kenapa hasil placement test menempatkan saya berada di kelas itu dan diajar oleh beliau?). Saya pikir hanya keberuntungan saja, karena kelas yang lainnya saya ada di intermediate dan upper intermediate. Namun, jujur saja awal-awal pertemuan pertama dan kedua saya hampir tidak bisa catch materi yang belau sampaikan. Agaknya materi ini ada diatas kapasitas saya. Saya mendapatkan nilai tidak begitu bagus. Saya kecewa sekali karena hingga pertemuan ke empat nilai saya tidak meningkat. Kebetulan program IEOP ini saya setiap hari belajar yang sama dan ketemu dengan teacher-teacher yang sama, intensif. Berbeda dengan kelas Writing yang saya ikuti, saya kebetulan berada di level upper intermediate. Mungkin karena saya suka menulis jadi saya tidak terlalu banyak kesulitan yang berarti. Namun, karena yang saya pelajari adalah Academic Writing jadi saya harus merubak framework saya yang terbiasa dengan Creative Writing harus men-switch ke Academic Writing yang lebih terstruktur. Namun, pertemuan pertama nilai saya sudah lebih dari ekspektasi saya. Walaupun setelah itu saya menjadi sangat tidak pernah puas. Begitulah yang saya dapat, saya tidak pernah puas dengan nilai yang saya dapat. Di kelas Writing, nilai pertama yang saya dapat yaitu 86. Kalau di UI nilai 86 itu sudah A masuknya. Namun, anehnya saat saya melihat nilai Seulki sabahat saya dari Korea mendapatkan nilai 89 saya langsung put on my mind bahwa untuk next assignment nilai saya harus 90. Dan begitu saya dapat nilai 90, saya taruh lagi di otak saya bahwa next assignment nilai saya harus 95, begitu seterusnya saya tidak pernah puas kecuali ketika saya mendapatkan angka 100.  

Begitu dan begitu. Namun di kelas Speaking saya tidak pernah menyentuh angka 90. Angka tertinggi saya sampai pertemuan ke empat hanya 85. Itu sungguh cacat. Kelas-kelas dan teacher-teacher di Amerika sangat mudah untuk mendapatkan nilai sebetulnya. Teacher-teacher-nya sangat generous. Mereka tidak akan pernah tega memberikan nilai 70. Tapi berbeda di kelas Speaking dengan teacher yang satu itu. Dia bahkan tega memberikan nilai 60 pada teman saya mahasiswa China di kelas. Saya sempat stress dengan pola dia memberikan assignment yang sangat banyak, tidak dengan clear instruction, dan kadang sulit sekali berdiskusi tatap muka langsung dengannya. Saya awalnya pasrah. Hingga pada suatu hari terjadi misunderstanding antara si teacher dengan semua mahasiswa di kelasnya beliau. Sehingga suasana menjadi agak chaos. Tidak ada satu muridpun yang mendapatkan nilai bagus. Poorly nilai kami semua dibawah 60. Gilak kan! Saya awalnya pengen nangis, aduh kok bisa turun jauh sekali, masa udah jauh-jauh ke Amerika nilai buruk sekali. Saat itu saya belum tahu kalau nilai teman-teman yang lain juga terjun payung. Saya sempat nangis dipojokan kelas ruang komputer Curtiss Hall sambil memandangi website e-learning. Di IEOP Program kami banyak sekali kuliah online dan tidak bertatapan wajah langsung dengan teacher. Sampai akhirnya, sore itu setelah dari Curtiss Hall saya kembali ke Landscape Architecture Building (ke Sekretariatan IEOP) untuk mengikuti kelas yang lain. Dan amazingly disana sudah berkumpul setengah lebih teman-teman kelas speaking saya yang menghadap si pengajar tersebut. Termasuk saya yang berniat bertanya ada apakah dengan nilai saya? Kami langsung chaos disana, dan berramai-raman ingin menghadap sang teacher. Namun finally kami menghadap satu persatu. Dan dari pertemuan itu intinya saya berjanji akan belajar lebih keras lagi. Belajar lebih keras! Hingga, si Teacher pernah memanggil saya karena nilai saya 100! Alhamdulillah, setelah dua hari mengendap di lab komputer Curtiss Hall saya bisa juga dapat 100 untuk kelas beliau. Artinya, semua hal mungkin dilakukan. 

MIT, maafkan saya menjadi curhat mengenai kelas IEOP saya di ISU. Tapi sedikit membuat saya ingin kembali ke Amerika. Saya rindu, saya rindu kelas-kelas yang menantang. Kelas-kelas yang membuat saya sangat giat belajar dan membuat saya tahu bahwa tidak ada yang namanya comfort zone saat kita ingin berkembang. Saya mungkin baru sebatas bermimpi untuk kembali menikmati dan mengikuti kelas-kelas perkuliahan ala Amerika yang sangat encouraging, yang membuat saya tidak pernah puas dengan apa yang saya dapat dari hasil belajar saya.  

Saya memang tidak pernah bermimpi tentang Anda. Impian saya hanya sebatas ingin melanjutkan pendidikan GIS and Spatial Analysis program di Ohio State University. Saya tidak pernah kenal Anda sebelumnya. Saya mungkin mendengar bahwa Anda sangat eksis di dunia ini. Tapi saya sendiri tidak pernah sedikitpun mencari tahu mengenai Anda. Bagi saya mungkin Anda ada di dunia ini. Dunia melihat Anda, tapi kita tidak pernah bertatapan langsung. Mungkin Anda memang ada namun saya belum pernah sedikitpun mencari tahu tentang Anda. Saat pertama saya mendengar Anda ketika seorang sahabat saya berkata, "Gue mimpi banget buat bisa kuliah di MIT, Fik!" Saat itu yang saya tahu bahwa Anda sangat tersohor dikalangan mahasiswa Teknik. Sementara saya dikalangan mahasiswa Fakultas MIPA, Eropa jauh lebih banyak menjadi perbincangan sebagai tempat untuk belajar Basic Science yang hebat. 

Saya sempat penasaran dengan Anda. Dari semua jurusan yang Anda tawarkan tidak ada yang bisa saya ambil. Anda mempunyai Earth Science yang hebat, namun program-program studinya sangat tidak saya minati. Saya mungkin suka, namun jika harus mendalami program tersebut saya kurang berminat dan otak saya tidak merespon baik ketika saya membaca informasi mengenai Earth Science-nya. Kasusnya mirip seperti saat SMA, saya sangat senang Biologi, tapi kalau disuru ambil S1 Biologi saya tidak mau. Kira-kira seperti itulah suasana hati saya saat saya membaca info mengenai Earth Science-nya. Saya cukup penasaran sebetulnya dengan Ilmu Luar Angkasa yang banyak dikaji di Earth Science, namum saya tipikal orang yang sangat suka implementasi, sehingga Ilmu Luar Angkasa sangat tidka terbayang bagaimana implementasi di dunia nyatanya. Sejauh mana kemudian akan berguna bagi masyarakat Indonesia secara langsung. Saya butuh Indonesia, begitu juga Indonesia. Pasti butuh saya.

Saya kemudian menemukan satu-satunya program studi yang paling mendekati dengan bidang yang saya pelajari dan dalami saat ini, yang paling dekat hubungannya dengan GIS dan Spatial Analysis yaitu Master of City Planning (MCP), dibawah Department of Urban Studies and Planning, School of Architecture and Planning. Saya pelan-pelan berkenalan dengan Anda melalui program tersebut. Di DUSP juga Anda memiliki program 'cross-cutting' yang sangat fokus kepada Urban Information Systems. Saya seperti semakin terprovokasi. Lalu saya bertemu dengan profil Prof. Ferreira sebagai kepada UIS Group, saya membaca profil singkat beliau. Rasanya saya ingin berteriak dan berkata pada diri saya. "Fikriyah, all you have to do is only study! harder and harder!" Tidak ada yang bisa mengantarkan saya bertemu dengan Anda, bertemu dengan Prof. Ferreira, bertemu dengan Sarah, MIT Lady yang mendalami GIS untuk diimplementasikan di Urban Development, bertemu dengan orang-orang hebat disana selain saya belajar lebih keras dan lebih keras lagi. Saya yakin saya akan bertemu dengan Anda di musim gugur tahun 2015. Saya yakin saya akan masuk di ruang kelas-kelas departemen Anda, saya yakin saya akan berbicara dengan Prof. Ferreira untuk membicarakan dan mendiskusikan tesis saya yang menekankan pada geoprocessing and spatial analysis of urban development and land-use planning. Saya berjanji, kita pasti bertemu. Aamiin. Aamiin ya Allah.. Saya semakin deg-degan. Mohon maaf yah.

Anda pasti belum kenal siapa saya. Saya sangat tahu diri, saya hanyalah seorang anak kampung. Menghabiskan masa kecil di sebuah kampung pedalaman tanpa electricity. Ibu saya hanyalah perempuan yang SMP saja tidak lulus, lalu sekolah menjahit itupun tidak sampai menerima ijazah karena sekolahannya kebakaran saat menjelang ujian. Sementara Bapak saya, hanyalah PNS dengan karir terakhir sebagai kepala sekolah SD. Saya adalah cucu pertama Kakek dari Ibu saya yang mencapai pendidikan S1, cucu pertama beliau yang mengenyam bangku kuliah. Saya adalah cucu pertama Kakek dari Bapak saya yang pertama kuliah di kampus 5 Terbaik Indonesia. Keluarga kami adalah keluarga yang sangat biasa-biasa saja. Tidak mempunyai prestasi menonjol yang dilihat oleh orang lain. Ibu saya bahkan hingga saat ini saya masih perlu tenaga untuk menjelaskan kepada beliau kenapa saya harus sekolah lagi. Ibu saya hingga akhir tahun 2013 belum mengizinkan saya untuk bersekolah. Pikirannya masih sangat sempit, mungkin itu yang membuat saya menjadi terhambat karena saya belum menggondol restu Ibu untuk sekolah lagi. Ibu berkata dan membolehkan lagi saya sekolah. Tapi entahlah, Ibu selalu berkata dan tertawa. "Untuk apa sekolah terus? Untuk apa sekolah lagi? Kerjaan kamu sekarang sudah enak, gaji kamu sudah bagus. Sudahlah mendingan sekarang mencari jodoh dan menikah. Punya suami, punya anak, pekerjaan lancar.." Pikirannya baru sampai disitu. Bahkan tadi malam. Saya sedih. Disaat saya begitu keras untuk belajar, tiga hari lalu saya sempat cuti karena tepar. Saya belajar hingga larut malam. Paginya lagi saya bekerja. Saya tidak bermaksud mengeluh sama sekali. Saya tahu, ketika saya hidup bersama Anda mungkin 3 jam tidur itu sudah banyak. Namun, alangkah sedihnya saya ketika usaha keras saya tidak sejalan dengan restu Ibu saya. Entah bagaimana saya harus menjelaskan kepadanya lagi, bahwa saya harus terus men-develop diri saya. Bahwa saya ingin bersekolah hingga tingkat doktoral. Semoga lebaran ini saya dapat berbicara lebih serius lagi, dan Ibu bisa memberikan restunya. Sehingga tidak ada yang sia-sia yang saya kerjakan ketika sejalan dengan restu Ibu. Mohon doanya yah. 

Mohon maaf saya jadi cerita kemana-mana. Impian saya saat itu baru sebatas Columbus, Ohio. Hingga saya bertemu dengan seorang teman. Suatu malam kami mengobrol di platform whatsApp, saya lupa topik pembicaraannya mengenai apa namun berujung pada keinginan saya untuk sekolah lagi. Setelah panjang lebar obrolan di whatsApp tersebut teman saya berkata "MIT ya" entahlah saat itu saya langsung jleb. Waduh, bisa gak yah? Kenapa harus MIT? Kenapa harus Anda?

Entah kenapa semakin hari saya semakin memikirkan Anda? Saya mulai mencari tahu tentang Anda. Semakin hari saya semakin kepo dengan Anda. Saya semakin tidak bisa tidur dan terus kepikiran Anda. Saya tahu saya mulai, saya mulai bermimpi untuk hidup bersama Anda. Hingga dua minggu lalu, saya ke Gramedia untuk membeli buku. Lalu saya membuka sebuah buku (yang sudah kebuka) begitu saya membuka halaman dari buku tersebut, saya tersentak karena mata saya dihadapkan pada tulisan ".......yang dilakukan oleh peneliti-peneliti di Laboratorium MIT....." Saya berhenti pada halaman itu dan saya bertanya pada diri saya, ada apa? Kenapa saya bertemu dengan tulisan Anda? Ini mungkin kebetulan.  

Saya semakin terprovokasi untuk mencari tahu Anda lebih jauh. Hingga saya manfaatkan waktu-waktu istirahat saya untuk browsing dan mencari tahu siapa saja mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sudah lebih dulu bertemu dan hidup dengan Anda. Lalu saya menemukan seorang juara olimpiade fisika internasional berbagi kisah lima bulan pertamanya bersama Anda. Saya hanya menarik dan membuang nafas. Juara olimpiade itu sedang mengambil undergrad program di tempat Anda. Lalu adalagi seorang mahasiswa undergrad Indonesia juga yang sedang berkuliah disana. Perempuan itu lulusan SMAN 3 Bandung, pernah satu tahun mengenyam SMA di Amerika untuk exchange program. Saya belum juga menemukan mahasiswa grad program di MIT yang berasal dari Indonesia. Saya tidak berhenti untuk terus mencari tahu siapa saja yang sudah bersama Anda. Kami sama-sama anak Indonesia. Kami berasal dari satu motherland. Hingga akhirnya saya menemukan seorang Bapak-bapak pegawai Garuda Indonesia lulusan S1 di ITB menuliskan di blog pribadinya mengenai perjalanan beliau hingga dapat mengenyam pendidikan MBA di MIT. Lagi-lagi ketika membacanya saya menarik dan membuang nafas. Bapak-bapak itu sudah lama lulusnya dan tentu saja sudah tidak di MIT. Tapi dalam blognya beliau berkata bahwa tidak ada hal yang tidak mungkin jika kita menginginkan sesuatu, walaupun itu MIT. Saya terdiam. Membenarkan nafas saya.

Ada banyak hal yang saya sedang korbankan untuk berupaya sekeras mungkin agar saya bisa bertemu Anda. Dan karena saya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Dan pencapaian saya pun masih bukan apa-apa, sehingga saya harus terus belajar dan berusaha lebih keras. Tapi minimal saya sedang menyiapkan segalanya untuk bertemu dengan Anda.

Bulan Maret lalu saya bertemu dengan senior Geografi saya disebuah kondangan. Dia bertanya beberapa hal dan berkata "Thats a good step working in Esri." Lalu dia bertanya, kenapa saya belum sekolah lagi. Kalau ditunda-tunda nanti keburu malas dan nyaman. Dia baru saja menyelesaikan grad programnya di hidrologi ITB. Lalu saya berkata padanya bahwa saya dengan menyiapkan semuanya. Saya akan kuliah lagi secepatnya. Lalu dia berkata kamu pasti loloslah. Saya bilang saya mau kuliah diluar, oh dimana? Saat saya jawab MIT. Dia seperti akan menumpahkan air di gelasnya. Pahit. Saya tahu apa yang dia pikirkan tapi saya tidak mau suudzan. Tapi begitulah, saya tidak ingin menangis dipojokan untuk meratapi kenapa saya harus punya impian untuk hidup bersama Anda. Banyak orang yang mereka tidak yakin bahwa kita bisa bersama. 

Sejak saya menyebutkan nama Anda, mereka dihadapan saya berkata, oh.. Tapi setelah itu.. "Kenapa engga apply yang lain ajah Fik? Harus banget ya MIT? Jangan nyusahin diri. Klo lo apply ditempat lain lo pasti diterima kok. MIT sudah banget lho Fik. Gini deh, klo lo mau ambil urban studies and planning, lo mau ngapain abis itu? Lo mau jadi apa?" Saya sedih sekaligus kesal sebenarnya, dan tentunya sangat menyayangkan kenapa lulusan master di luar negeri pikirannya sempit amat. Masa hari gini masih tanya "Lo mau jadi apa?" Itukan pertanyaan Ibu-ibu dan Bapak-bapak cetakannya Pak Harto. Miris. Tapi saya hanya diam dan bilang, terima kasih. Meskipun jauh dilubuk hati saya saya sedikit kecewa dengan statement-nya. Meskipun selalu setiap pertanyaan ada benarnya. 

Buat saya, orang meng-under-estimate saya itu wajar sekali. Saya juga butuh untuk di underestimate orang agar saya tahu bahwa saat orang lain meng-under-estimate kita, maka saat itulah saya diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk berusaha lebih keras dari orang lain. 

Saya mulai memasang tulisan-tulisan MIT dibeberapa spots yang mudah tertangkap mata saya. Termasuk di cubicle saya di kantor. Saya hanya tersenyum saat beberapa orang berkata, "Wih mau kuliah di MIT Fik, gue sih mimpiinnya ajah gak sampe. Padahal jelas-jelas secara prestasi kerja dia lebih jago dari saya." Tapi yasudahlah lupakan. Lalu ada lagi yang berkata, "MIT itu Mbandung Institute of Technology, bisalah Fik masuk MIT, gue ajah udah lulus dari MIT.Hahaha" saya hanya diam. Dan saya mulai memasang profile picture dan cover di beberapa platform chat dan social media, saya tahu beberapa orang notice dengan itu. Ada sebagian yang memberikan semangat. Terima kasih, dan ada sebagian orang yang berpikir bahwa saya bermimpi terlalu tinggi. Biarkanlah.

Hingga hari Minggu lalu, saya chat dengan teman kelas IELTS Prep saya dan ujung dari chat itu saya sedih. Dia intinya berkata.. "Yaelah Fik udahlah masuk Mbandung Institute of Technology bisa kali, ada regional planningnya juga. Lo bisa sambil kawin dan punya anak. Lo tahu, if you die because of MIT, no one prays for you. But if you are married and have a child, and you die. Your child prays for you." Saya tutup chat itu dan saya balas. "Klo gue mati saat kuliah di MIT dan gak ada anak yang doain gue, gue ikhlas. Karena gue mati bukan untuk diri gue. Dimanapun gue sekolah tujuan gue adalah untuk bangun Indonesia. jadi kalau gue mati, gue mati untuk Indonesia, dan gue rela meskipun gak ada yang doain gue."  Jawaban sangat ekstrim memang.. Tapi jujur saya sangat kesal. Sangat kesal. Saya terima dengan ikhlas jika orang lain meng-under-estimate saya. Tapi kalau bawa-bawa ke anak, ke mati cuma gara-gara kuliah di MIT itu gak mungkin itu kan rada keterlaluan yah. Dan saya pikir saya tidak salah membalas chat-nya demikian. 

Saya tidak lelah dengan semua underestimate orang terhadap impian saya. Saya diam-diam berterima kasih pada mereka. Di geng (peer group) saya mereka mentertawakan saya, meledek Mbosten, Fikriyah MIT Winata, dll.. Tapi saya hanya tertawa dan berkata yaudah-yaudah mendingan doain ajah deh. Aamiin ajah deh.. Saya hanya berkata demikian. Saya tidak dendam kepada siapapun. Saya hanya belajar lebih keras, dan lebih keras. Saya janji saya akan memenuhi mimpi saya. Saya ingin hidup bersama Anda. Bismiallah, ya Allah. Mudahkanlah ya Allah, mudahkanlah jalan saya.

Tapi banyak juga teman-teman yang mendukung dan memberikan saya semangat. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Kerja keras dan doa adalah kuncinya. Allah gak tidur dan pasti selalu menghargai kerja keras kita. Saya sangat senang. Bahkan Aloysius salah satu sahabat saya anak Singapore yang sedang juga mengambil master di NUS memberikan saya kontak temannya yang sedang mengambil PhD di MIT. Dia berkata feel free untuk kontak temannya itu, dan dia juga sudah berkata pada temannya bahwa saya akan menghubunginya untuk bertanya tentang Anda. Dia juga selalu bilang, lo pasti bisa kok Fik!.. Banyak teman-teman yang baik dan selalu mendukung. 

Beberapa minggu saya mencari-cari mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil grad program di MIT ternyata tidak mudah. Jujur saya tidak menemukannya. Entah keywords saya kurang sakti atau entah mungkin sedikit mahasiswa Indonesia yang mengambil grad program di MIT. Sebenarnya saya bisa saja bertanya kepada teman-teman PPKM saya, mereka semua lulusan master di Amerika. Tapi entahlah, saya bertanya MSU, saya bertanya SUNY, dan mereka respon baik dan mengenalkan saya juga memberikan kontak teman-temannya di universitas tersebut untuk saya hubungi. Tapi entah kenapa saya tidak sanggup bertanya MIT kepada mereka. Mungkin saya takut atau malu, kalau-kalau mereka berpikir "Ketinggian Fik kalau MIT!" Tapi tidak juga, teman saya yang berkata "MIT ya" juga anak PPKM. Mereka semua baik-baik sekali. Mereka semua sangat senang membantu saya, tapi entah kenapa saya tidak bisa bertanya MIT pada mereka. Dan sayapun tidak melakukan itu. Hingga saya hanya mengandalkan google untuk mencari jejak mahasiswa Indonesia di MIT. Hingga kemarin tiba-tiba Mas Syifa teman IELSP saya mem-bbm saya dan berkata, "Fik, di Harvard ada yang tidak pake GRE lho" Lalu kami chat dan saya bilang bahwa di semua univ di Amerika untuk program studi yang saya akan apply semuanya mengharuskan GRE. Intinya dari percakapan via bbm tersebut membuat saya kemudian me-massage Ibu Naim yang saat ini tinggal di Boston, dan bertanya apakah beliau ada kenalan mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil grad program di MIT. Beliau cepat sekali membalasnya dan berjanji akan mengenalkan saya kepada mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil grad program di School of Architecture and Planning MIT.

Saya yakin Allah Maha Baik, kita pasti bertemu ya MIT. Saya janji saya akan bertemu dengan Anda fall 2015 di Department of Urban Studies and Planning. Bismillah. Allah pasti memberikan saya kemudahan. 

Bismillah..

Sampai berjumpa fall 2015..
Salam,

Fikriyah Winata

Depok, 23 Juli 2014
22.38 WIB

Comments

  1. Eh kamu baca Tis, jadi maluuu.. Makasih ya :D

    ReplyDelete
  2. Semangat ya Kak Fik :D
    semoga kaka tercapai ke MIT nya
    hehe
    jujur ka saya juga ada mimpi untuk kuliah disana :) walaupun banyak temen yg meremehkan saya
    tetap semangat ya kak semoga bisa jumpa di MIT.
    Aamiin

    ReplyDelete
  3. We were dreamt about US before,and we made it,
    Don't be hesitate, MIT will greet u as soon as posibble ;)
    Miss you,anyway....

    ReplyDelete
  4. Halo! Salam kenal! Saya kebetulan mencari-cari sesuatu dan menemukan blog Mbak. Saya salah satu orang yang Mbak sebutkan di atas, dan kebetulan saya masih di MIT saat ini untuk program Master. Ada satu orang teman yang ambil program Urban Studies and Planning tahun ini, dan dia lulusan ITB kalau tidak salah. Tetap semangat! :) Kapan-kapan mampir Boston :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Operasi Sapu Lidi

Salah satu contoh operasi hitung sapu lidi Sumber gambar :  dayufunmath.wordpress.com Usiaku saat itu masih enam tahun. Hari itu Kakekku resmi mendaftarkan aku sekolah. Ku lihat lagi selembar ijazah yang dikampit oleh Kakekku. Ku perhatikan baik-baik. Ada fotoku dua bulan lalu. Lucu. "Itu apa Kek?" aku menunjuknya. "Ini ijazah sekolah Neng yang dulu di Jakarta. Buat daftar sekolah disini" kemudian Kakekku menjelaskan. Tidak satu orangpun diantara barisan pendaftaran sekolah itu yang membawa lembaran bernama ijazah sepertiku. Nampaknya cuma aku seorang. Senin diminggu pertama sekolah. Aku sangat gembira. Seragamku kini putih merah terpisah. Rok rempel jahitan Nenekku dan kemeja putih bekas sekolah Taman Kanak-Kanakku dulu di Jakarta masih terpakai dan layak. Meski seragamku bekas, tetap terlihat paling bercahaya. Entah? Rasa-rasanya semua anak disini seragamnya tidak disetrika, apalagi mengkilat seperti seragamku. Sejak Ibuk

We were the IELSP Cohort 8 - Iowa State...

Okay, now let me show my IELSP Cohort 8 - Iowa State family.. I lived with them for 2 months during exchange program, obviously we never knew each other before IELSP. We came from the differences of provinces in Indonesia, from Sabang to Merauke, then we made friends, love, and togetherness.. I love u guys, thanks for filled in my heart for 2 months in Iowa.. Hoped can meet you again in the other occasion.. :D She is Sari Ayu Maghdalena, also known Alien. She was my roommate.  She was biology student at her university. Came from Medan, North Sumatera. Alien was like my daughter. She could not cook, I felt really pity of her when she was hungry. Haha. Then, I always cooked for us then we eating together. I loved to make dinner meals for us, for breakfast we were such 'anak kosan' it was expensive time to take breakfast. We slept over then woke up late. Haha, never 'mandi pagi' as well because of the weather was so COLD just "kucek-kucek' mata, make up, and wen

Japan! I promised u that I would be back!

Tokyo, 25 April 2011 Sekitar pukul 05.00 waktu setempat (Bandara Narita Tokyo) kami landing dari Minneapolis. Kebetulan saat itu rombongan IELSP Cohort 8 Iowa State University sudah tidak ditemani oleh pihak IIEF. Ali Ibrahim sebagai ketua rombongan dan saya sebagai wakil ketua rombongan. Sebagai orang yang sedikit mengerti dunia pesawatan saya mengambil peran lebih banyak saat kepulangan rombongan. Khususnya hari itu.. Delta Airlines (Pesawat kami) terkena petir Setelah mengantri di Security Check Bandara Narita saya segera mengalihkan teman2 untuk menuju Gate kami. Saat itu masih tidak banyak orang, kami berlari 'hurry' karena waktu transit tidak lama dan FYI : security check bandara narita 'agak' remphong, ribet, dan antrinya panjang, maklum Narita adalah salah satu bandara sibuk di Dunia. Setelah menunggu tiba2 ada pengumuman kalau pesawat kami akan delayed selama 30menit. Its okay , itu biasa. Kita tidak pernah tahu apah yang terjadi diudara. Tiba2, delayed