Hari itu seorang perempuan muda mengirimiku pesan. Dia menawarkan diri untuk sekedar berbicara sepatah kata denganku dan mengiming-imingiku secangkir cappuccino. Kau tahu, sejak kapan aku dapat menolaknya? Beberapa minggu setelah pesan itu aku terima, kami bertemu. Dia tidak berkata banyak. Benar-benar sesuai janjinya, dia hanya berkata "Hai" lalu pergi. Aku bingung dibuatnya, bagaimana bisa seseorang yang meminta bertemu denganku berminggu-minggu lamanya, setelah bertemu hanya berkata "Hai".
Aku tidak ingin bertanya. Dia pergi, lalu perlahan aku menyeruput cappuccino itu. Pelan-pelanlah meminum sesuatu yang berasap, karena jika kau terburu-buru maka kau tidak akan menikmati setiap sentuhan asapnya. Tapi jangan kau biarkan ia dingin, karena kenikmatannya akan hilang. Minumlah, perlahan-lahan.
Aku tidak bertanya apapun kepadanya keesokan harinya. Dia seperti menghilang, tanpa kata.
***
Hari lain perempuan itu kembali mengajaku berbicara. Dia hanya mengirimkan pesan singkat kepadaku, "Aku ingin berbicara denganmu lagi dan melihatmu meneguk cappuccino" begitu katanya.
Setiba disana, dia sudah duduk dan memesankan cappuccino untukku. Tanpa kusadari, dalam hatiku berkata beruntungnya aku yang tiba di meja itu tepat saat secangkir cappucino itu mendarat di meja kami. Ku tatap mata perempuan itu. Aku tahu dia cantik sorot matanya berbicara. Aku tahu dia pintar, aku tidak ingin memulai percakapan dengannya.
"Kau tahu rasanya menjadi aku?" Suaranya pelan mengawali kalimat di antara tatapan mata kami yang hanya isyarat.
"Tidak" Ku jawab singkat, aku tidak tahu arah pembicaraan ini.
Dia lalu menunduk. Aku tidak berani untuk menangkap setiap geraknya.
"Dimana kau tinggal?" Tanyanya lagi.
"Tidak jauh dari tempat ini" Begitu sekiranya jawabanku. Lalu kami diam.
Aku berusaha mengalihkan perhatianku kepada secangkir cappuccino yang hampir mendingin. Segera ku raih dan ku teguk perlahan. Nikmat.
"Pernahkan kau bertemu dengan seseorang?" Kalimatnya terputus. Dia tidak melanjutkan. Dan bagiku, ini pertanyaan tersulit yang ku dapat sejak sepuluh jam aku terbangun dari tidurku pagi ini. Aku beranikan diri bertanya.
"Seseorang maksudmu?" Ku potong pertanyaanku. Ku harap perempuan muda itu memahami bahwa pertanyaannya tidak cukup untuk dijawab.
"Aku tahu kau paham. Pergilah. Terima kasih telah bertemu denganmu." Perempuan itu terdiam dan sedikit terengah. Dia tidak berkata lagi. Tertunduk. Ku selesaikan tetes demi tetes cappuccinoku. Ku tinggalkan dia.
***
Ini adalah delapan hari sejak pertemuan terakhirku dengannya. Dia tidak pernah menghubungiku, akupun enggan untuk menghubunginya apalagi bertanya. Sejak dia memintaku pergi, ingin rasanya aku bertanya. Namun, aku tidak melakukannya. Bagiku, dia hanya butuh waktu. Membiarkannya adalah pilihan terbaik.
Hari ini salju turun lagi. Aku rindu tinggal di tropis. Ibuku, setiap bulan purnama tidak pernah melarangku untuk bermain di malam hari di bawah sinar bulan. Ibu selalu memberitahuku setiap kali anak-anak kecil seumuranku berencana akan bermain permainan tradisional anak kampung di depan balai desa kampung kami.
Sementara di sini, hari-hari ku habiskan dengan membaca jurnal-jurnal dan menulis paper. Aku rindu Ibu, teman-teman kecilku, dan juga sinar bulan yang saat ini belum bertemu dengan terangnya sinar lampu di rumah penduduk. Saat aku kecil kami hanya ditemani obor dan lampu templok. Beberapa jam yang lalu aku menelponnya, namun Ibu sepertinya sedang tidur. Aku rindu Ibu.
Dari jendela kamarku, butir-butir salju terus menutupi mobil-mobil di depan apartemenku, semua putih. Aku bergegas ke dapur, dua orang teman apartemenku sepertinya terjebak dengan buku-buku di kampus. Sore ini mereka belum kelihatan. Mereka, wanita pirang dan berambut keriting teman aku meminum cappuccino terlebih saat musim dingin seperti ini. Sejak tiga bulan yang lalu. Karena dua bulan setelah aku di sini, aku disambut oleh dingin yang tak tertahankan. Mereka dan cappuccino itulah yang kadang menemaniku.
Tiba-tiba aku teringat perempuan itu. Ku coba meraih telpon genggamku dan mencoba untuk mengirimkannya pesan. Ku tulis beberapa kata.
"Hi, may I treat you a cup of cappuccino at the place where we met last week?" Ku tutup telpon genggamku. Ku buka lagi dan ku baca perlahan. Aku tidak tahu apakah perempuan itu berkenan untuk bertemu denganku. Aku tidak yakin. Ku hapus berlahan. Ku hapus kata demi kata. Atau, aku akan berkata dalam bahasa kami dan perlahan ku tulis ulang..
"Hai, ku tunggu kau di tempat terakhir kita bertemu. Aku ingin traktir cappuccino..” Ku tutup kembali telpon genggamku. Ku baca ulang, dan ku hapus lagi. Aku terdiam sejenak. Ku tutup mataku. Suara ketel air di atas kompor mengagetkan lamunanku. Ku angkat perlahan dan menuangkan perlahan ke dalam cangkir, sudah lama sekali aku tidak meracik cappuccino sendiri. Kali ini aku benar-benar membuatnya. Aku tidak sedang menyeduh cappuccino instan. Asap baunya perlahan menghampiri hidupku. Alami. Nikmat.
"Selamat menikmati musim dingin dengan secangkir cappuccino. Aku tahu kau begitu menikmatinya." Sebuah pesan masuk di emailku. Aku terdiam. Orang itu.
***
Musim dingin harusnya berakhir. Tetapi tahun ini musim semi yang sesungguhnya seperti malu-malu untuk datang. Meski di penghujung bulan Maret, musim semi tahun ini seperti musim semi banci. Salju masih terus turun. Hembusan angin masih menusuk rusuk-rusuk dan aku sedikit tidak terima. Ini tahun pertama musim semiku di sini, meskipun aku tahu bahwa tinggal di negara bagian ini tak akan terlepas dari musim semi banci. Carissa and Emma pasti menungguku untuk mencoba racikan cappuccino terbaruku. Aku bergegas meninggalkan perpustakaan dan kembali ke apartemen kami.
"Raaa.." Suara perempuan seperti memanggilku. Aku menoleh sebentar. Aku tiba-tiba bergetar. Perempuan itu. Perempuan yang terakhir bertemu denganku di tempat itu. Aku hampir saja melupakannya. Dia mendekat.
"Hi, how's life going?" Aku mencoba mengawali pembicaraan. Dia hanya tersenyum.
"Let me treat you a cup of cappuccino. I am sure, you are always happy with cappuccino. Aren’t you?" Betapa aku terkaget-kaget. Aku tidak tahu harus berkata apa? Aku hanya menggerakan dua telapak tangaku tanda setuju. Dan aku berencana untuk mentraktirnya, kali ini.
Kami berjalan, ku ambil telepon genggangku dan mengirim pesan pada Carissa dan Emma bahwa aku bertemu dengan perempuan itu dan kami akan pergi ke tempat itu. Aku meminta maaf pada mereka dan akan meracik cappuccino untuk mereka nanti malam.
Kami berjalan. Tanpa suara selain gerak langkah kami. Gerak langkah orang-orang yang terburu-buru dengan tangan-tangan yang tersebunyi di kantong jaket mereka. Tempat itu tidak jauh dari kampusku. Kami tidak berbicara apapun lagi. Aku yang tadi sudah mencoba untuk merangkai kata-kata, semuanya hilang saat aku melihatnya. Entahlah, aku pikir sejak di perpustakaan tadi dia sudah berubah dan tidak sedingin ini. Aku tidak ingin mengawali apapun. Aku menunggu.
"Jika orang sedang jatuh cinta, aku bisa melihat dari matanya." Satu kalimat yang sangat mengagetkanku. Pikiranku tertuju pada, sejak beberapa bulan lalu dia membutuhkan teman untuk bicara. Namun, karena aku pendatang baru dia masih enggan untuk bercerita kepadaku. Dan waktu membuatnya bersuara. Hari ini.
"Aku tidak bisa sepertimu. Aku tidak bisa melihat mataku sendiri. Sementara orang lain. Aku tidak bisa mengerti bahwa mata itu berbicara." Kalimat terpanjang yang aku ucapkan sejak pertama kami bicara.
"Aku dapat melihat itu. Pergilah bersamanya. Dia layak bersamamu." Mulutnya terhenti. Mulutku tertutup, kaku. ***
Di atas roda bis berputar dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Depok, 22.40 WIB
Jumat, 13 Juni 2014
Comments
Post a Comment