Aku memang pernah mendengar dengan gamblang mengenai perempuan itu sebelumnya. Aku bahkan diam-diam mencari tahu dari kejauhan. Dari semuanya, aku hanya menyimpulkan bahwa dia memang hebat.
Itu dua tahun lalu. Dan sejak
kedatanganku ke Kota ini beberapa bulan lalu. Dia seperti mengetuk pintu
apartemenku. Meskipun rasanya aku tidak pernah kuasa bertatap muka dengannya.
Meskipun aku selalu penasaran dan ingin bertanya, darimana dia tahu bahwa aku
ini menikmat cappuccino?
Aku tidak pernah menginginkan ada
perjumpaan tidak sengaja antara wajahnya dengan wajahku. Aku tahu, jika itu
terjadi aku butuh waktu sedikitnya tiga hari untuk mengatur nafasku kembali.
Dan meyakinkan diriku bahwa, dia hanya seorang wanita. Selebihnya, dia hanya
lebih tua beberapa tahun dari aku. Dan sisanya, aku pasti akan berkaca lebih
lama dihadapan cermin. Bukan, bukan untuk melihat bahwa dia lebih cantik dari
aku atau aku lebih cantik dari dirinya. Tetapi, aku hanya ingin melihat bahwa
menikmati cappuccino yang sudah dingin itu rasanya hanya setengah, dan setengah
lagi terbawa angin.
Lantas garis Tuhan berkata lain.
Dia disni, di Kota ini. Dan dia tahu, bahwa aku adalah penikmat cappuccino. Apa
dia pernah mencari tahu aku? Atau semua ini tidaklah hanya ketidak sengajaan.
Ketika kita sangat tidak ingin sesuatu, maka sesuatu itu akan semakin mendekat
kepada kita. Seperti wanita itu. Jika aku boleh mengulang dua tahun lalu,
mungkin aku memilih untuk tidak pernah berjabat tangan dengannya dan berkata “Hallo”
Oh tidak, kami tidak pernah berjabat tangan. Karena saat itu dia berkeringat,
dan hanya mengelap dahinya lalu membenarkan kacamatanya yang mungkin terkena
tetesan keringat.
Sejak saat itu aku selalu berdoa
pada Tuhan untuk tidak menakdirkan aku berhadapan dengannya lagi. Dan beberapa
waktu lalu, aku pikir itu hanya ujian. Terkadang untuk membuat manusia lebih
sadar dengan indahnya pelangi, maka Tuhan akan mengirimkan hujan terlebih
dahulu.
Aku masih ingat, rasanya tidak
ada obat penawar kepelikanku saat itu. Disaat yang sangat berat untuk bisa
sejajar dengan perempuan itu. Aku mati-matian, sangat sedikit waktu untuk
memejamkan mata. Aku menghitung berapa banyak dia belajar dalam satu hari? Dan berapa
banyak aku tidur. Aku juga menghitung, mungkin aku sudah ketinggalan jauh.
Tapi, aku ternyata tertinggal sangat jauh. Sampai aku tidak tahu harus darimana
memulai. Yang dapat menyenangkan hatiku saat itu hanya, memikmati secangkir
cappuccino saat malam tiba, ditemani dengan ratusan soal-soal ujian. Soal-soal
yang mungkin bisa membuat aku sejajar dengan perempuan itu. Dia menjadi “inspirasi”
terbesarku saat itu. Begitu kira-kira. Dan sisanya lagi hanya suara tinta
pulpen menyentuh kertas, atau musik-musik klasik yang semakin malam suaranya
semakin mengecil, dan menghilang dalam kelam. Lalu aku tertidur. Begitulah,
sangat berat.
Dipagi hari, saat aku membuka
mata. Aku mungkin telah melupakan perempuan itu. Lalu dia akan hadir lagi
setelah sekian lama tidak pernah ada diingatanku. Dia hanya hadir sekali-kali
saja. Dia juga tidak sepenuhnya ku ingat, hanya sekali-sekali saja dalam
waktu-waktu tertentu. Yang kadang harusnya dia tidak ada. Aku pasti tidak akan
pernah sedikitpun mengingatnya saat aku pelan-pelan meneguk cappuccino.
Aku pernah menjadi seperti
perempuan itu. Sebetulnya. Dan aku tahu persis bagaimana rasanya. ***
Pagi itu Ibu menelponku, sedikit
mengabarkan bahwa Ibu sehat. Jarak kami menjadi sangat jauh. Ibu barusan habis
buka puasa, sementara aku baru saja memulai puasa. Puasaku lebih lama dari Ibu.
Ibu membahas bahwa, Adik tiri perempuanku akan menikah. Itu artinya dia akan
melangkahi aku. Sementara beda umur kami enam tahun. Bagi keluarga Ibu dan juga
Ayah tiriku itu tidak menjadi masalah. Toh Adik tiriku sudah berumur 21 tahun,
sudah boleh menjadi istri orang. Tapi bagi Ibu pribadi ini adalah hal sangat
berat. Ibu sudah menginginkan aku menikah. Tapi Ibu tidak bisa memaksaku,
terlebih setelah kami tinggal berjauhan.
Pemaksaan-pemaksaan itu lambat
laun menghilang. Ibu kemudian memberiku waktu hingga enam bulan, mungkin untuk
mencari pasangan hidup. Aku hanya diam, ada suara-suara tak terdengar
mengatakan, mencari pasangan hidup itu bukan seperti mencari ide untuk menulis
tesis, bisa lebih sulit bisa juga lebih mudah. Hanya aku selalu percaya bahwa,
seseorang yang baik sedang Tuhan siapkan untuk aku. Sebuah kalimat yang kadang
hanya terucap dalam kesendirian dan dalam gelapnya malam. Tidak pernah ada yang
mendengar itu. Tidak pernah juga ada yang tahu. Mungkin hanya Tuhan, dan
racikan cappuccino yang perlahan masuk kedalam tenggorokanku. Mungkin dia
menguping kalimat tak terucap itu. Hidup memang begitu.
Aku tidak suka membahas
pernikahan sebetulnya. Karena itu sangat misteri. Aku pikir aku masih kurang
baik untuk mendampingi orang baik. Aku juga masih kurang pintar untuk
mendampingi orang yang sangat pintar. Aku juga masih kurang sabar untuk
didampingi oleh orang sabar. Aku masih kurang cukup dewasa untuk mendampingi
orang yang jauh lebih dewasa. Aku juga masih kurang pengertian untuk disampingi
oleh orang yang sangat pengertian. Dan mungkin, begitulah waktu diulur. Untuk membuat
orang menjadi lebih baik. Atau waktu diulur untuk menyadarkan masing-masing
manusia bahwa, sejauh apapun dia pergi dia selalu butuh rumah untuk kembali. Bagiku
tidak ada yang hilang dalam setiap kelamnya malam, karena Tuhan selalu
menggantinya dengan terik matahari di pagi hari.
Begitu juga pertemuanku hari ini
di taman kampus dengan seorang pria. Aku pikir pria ini adalah orang yang
hendak bertanya mengenai tools yang
aku gunakan dalam analisis ditulisanku, ternyata bukan. Dia adalah orang Indonesia
yang sangat suka melakukan perjalanan. Dan dia menemukan aku disebuah alamat
blogku. Lalu kami berjumpa. Pria ini berumur sekitar tiga puluh lima tahun.
Belum menikah tetapi sudah melingkarkan sebuah cincin dijarinya. Dia sudah
bercalon katanya begitu. Dia tertarik dengan perjalananku ke Amerika Latin
beberapa bulan lalu. Dia belum pernah melakukan perjalan seorang diri ke Negara—negara
di Amerika Selatan. Aku sendiri hanya berbekal kursus Bahasa Spanyol saat
kuliah S1 dulu. Sisanya, Emma yang selalu mengajari dengan bayaran secangkir
cappuccino racikanku.
Kami tidak berbicara banyak tentang
perjalananku karena semuanya sudah ku tulis diblogku. Layaknya orang-orang
Indonesia yang saat berada diluar negeri lalu bertemu dengan orang Indonesia.
Itu seperti bertemu saudara. Kami lebih banyak berbicara mengenai kolak pisang,
es buah Cirebon, sate ayam, soto betawi, dan ah aku ingin menambakan cappuccino
tapi tentu saja tidak. Pria itu berjanji akan mengirimu rencana perjalanannya
yang harus aku baca dan komentari. Sementara dia bertanya,
“Dari tulisan panjangmu itu aku
hanya penasaran dengan Fernando Jose. Siapa dia? Apa kamu jatuh cinta pada pria
Latin? Hah aku tahu banyak pria Latin tampan disini, kau bisa pilih satu. Haha”
Suaranya seperti seorang Kaka
yang meledek adiknya yang kasmaran. Aku tersenyum dan tertawa sendiri dalam
hati. Lucu sekali dia itu. Mungkin dia tidak hidup dijamanku. Atau perhitunganku
sangat jelas. Saat itu pria itu sedang duduk dibangku kuliah S1 dengan sibuk
mendemo sistem pemerintahan Soeharto, mana sempat dia menonton telenovela.
Hanya ku balas dengan senyum. Tapi dia melontarkan candaan lagi.
“Eh Ra, gakpapa lagi. Kalau cewek Indonesia kawin sama cowok Latin, wah
saya jamin anaknya ngalahin Marcel Candrawinata.” Pria itu seperti mencoba
mengakrabkan diri. Anehnya dari setiap kumpul-kumpul orang Indonesia di Kota
ini dia tidak pernah tampak. Ini pertama kali aku bertemu dengannya. Dan
sepertinya dia tidak bersekolah di kampusku. Mungkin di kampus tetangga. Sama
seperti perempuan itu. Dia tidak bersekolah di kampusku.
Aku hanya tersenyum menanggapi
ledekannya. Aku teringat kolega-kolega di kantorku. Mereka selalu meledek ku
setiap kali berbicara “Pria”. Menurut mereka aku adalah satu-satunya sasaran
empuk untuk menghina. Karena dalam sekian puluh tahun umurku. Aku tidak pernah
berpacar. Aku hanya mempunyai hati dan perasaan, itu saja.
“Ah kok senyam senyum aja si Ra.
Saya penasaran lho, kamu ke Amerika Latih, belajar Bahasa Spanyol hanya untuk
bertemu Fernando Jose. Artinya kamu sudah kenal dia dong? Atau jangan-jangan
kalian berpacaran lewat internet. Dan kamu sekolah disini, menjadi lebih dekat
untuk menemui sang pujaan hati.” Aku semakin ingin tertawa yang tak kuasa ku
tahan. Pria ini, sangat berbeda dengan wanita, yang hanya menatapku saat aku
meminum cappuccino. Pria ini sangat periang. Tapi membuatku menjadi lupa getar
tenggorokanku saat meneguk cappuccino. Aku hanya tertawa kecil.
“Ah Mas hidup dijaman apa sih?
Masa gak tahu Fernando Jose! Yasudah bagaimana kalau aku traktir cappuccino?
Sebagai perkenalan kita minggu depan setelah lebaran. Saya ingin merayakannya,
karena ada pembaca blog saya yang kopi darat di negeri orang dengan saya.
Bagaimana?” Aku mencoba menawarkan.
Aku tidak setegang saat
berhadapan dengan perempuan itu. Pria ini, yang katanya bernama Dwiki Negoro
sangat approachable dan selalu
membuka kalimat yang mungkin kami bisa menjadi teman baik. Aku berjanji akan
memberikan rekomendasi-rekomendasi terbaikku untuk perjalanan Amerika Latinnya.
Dan aku juga berjanji akan mengatur waktu dia bertemu dengan Emma, agar dia
tidak penasaran lagi dengan Fernando Jose. Dan berhenti untuk berpikir bahwa
aku berselera bule. Apalagi bule-bule berwajah Nabi Yusuf, tidak sama sekali
aku tidak tertarik. Bagiku, wajah-wajah penyayang dan jujur orang Indonesia
lebih determined.
Kami mengakhiri pertemuan singkat
itu. Kami akan bertemu lagi satu minggu lagi disebuah coffee shop seberang
kampusku. Aku akan membawa Emma dan juga foto jaman muda Fernando Jose. Aku
sudah membayangkan bahwa Mas Dwiki akan tertawa terbahak-bahak kalau dia tahu
siapa Fernando Jose itu. Dan tentu saja Emma akan mengingat kembali cerita
dibalik perjalanan Amerika Latinku. Aku tidak sabar untuk meneguk cappuccino
bersama teman baruku dan Emma. ***
Sudah satu jam lebih aku menatap
komputerku. Ide-ide untuk menulis paper
kadang datangnya sangat tidak terduga dan hilangnya juga tidak membekas. Dan
kali ini aku stuck. Aku hanya menulis
satu paragraf dan membuat workflow
untuk analisis yang lain. Aku terdiam. Seharian ini aku belum mengecek emailku.
Ku refresh tab yang masih membuka
emailku.
Sebuah email, dari dia. Aku
menutup mataku paksa. Inhale, exhale.
Aku buka,
“Semangat untuk menulis tesisnya, Ra!” Hanya itu. Orang itu. Ku tutup
kembali email itu. Aku tinggalkan mejaku menuju dapur. Meracik cappuccino. Aku
butuh tegukan-tegukan racikanku. Orang itu, kadang membuatku tidak mampu
bernafas lancar. Dan kadang membuatku bahagia tak tertahankan. Tapi itu dulu.
Sekarang rasa-rasanya dia sudah berubah. Sudah tidak segesit dulu. Sudahlah,
hanya cappuccino yang dapat mengobatiku dari ingatan akan orang itu. Sudahlah,
terkadang kita memang harus lebih bisa menerima. Karena hidup itu memang
begitu. Dia sudah terlalu tahu bahwa aku mempunyai sebait kalimat-kalimat yang
kadang hilang begitu saja, dan kadang datang tak tercegah. ***
Satu minggu berlalu, aku dan Emma
sudah siap-siap berjalan menuju coffee shop untuk Mas Dwiki. Aku juga sudah
mengomentari rencana perjalanan ke Amerika Latin dan memberikan
rekomendasi-rekomendasi terbaik yang aku tahu. Pertemuan kali nanti biarlah
Emma yang banyak bercerita bagaimana kehidupan asli disana. Aku rasa Mas Dwiki
ingin membandingkan karakter manusia Indonesia dengan manusia-manusia Amerika
Latin yang negaranya berada di Ekuator. Mungkin untuk memperkaya tulisan
disertasinya. Aku pernah juga menyampaikan kepadanya bahwa Brazil dan Venezuela
adalah dua penghasil kopi yang sangat baik di Amerika Selatan. Kedua Negara tersebut
juga penyumbang terbesar pasokan kopi dunia. Tapi Mas Dwiki bukan aku yang akan
rela nongkrong berlama-lama disebuah kedai kopi hanya untuk menikmati asap
panasnya. Biarlah dia tahu bahwa mengobrol denganku, asap-asap cappuccino nanti
akan menemani pembicaraan kami.
Aku dan Emma sudah berada di pintu
coffee shop seberang kampus. Tapi aku tidak melihat wajah Mas Dwiki. Padahal
dari tulisannya disms dia sudah di coffee shop dari sepuluh menit yang lalu.
Dan datang lebih awal karena habis menjemput calon istrinya. Tapi aku tidak
melihatnya dari luar. Aku dan Emma masuk dan mencari pilihan tempat duduk
termudah dijangkau mata orang yang sedang janjian. Mataku mulai berjalan-jalan
mencari. Satu, dua, tiga, sudut aku berputar lalu mataku terhenti. Perempuan
itu, iyah aku tidak salah lagi. Itu dia. Yah itu dia. ***
Bersambung
Depok, 01.20 AM
17 Juli 2014
Hidup itu
memang begitu. Terima saja, karena hanyalah perpindahan dari satu takdir ke
takdir yang lain.
Comments
Post a Comment