Skip to main content

Senja terpotong dua di secangkir cappuccino #2


Aku memang pernah mendengar dengan gamblang mengenai perempuan itu sebelumnya. Aku bahkan diam-diam mencari tahu dari kejauhan. Dari semuanya, aku hanya menyimpulkan bahwa dia memang hebat. 

Itu dua tahun lalu. Dan sejak kedatanganku ke Kota ini beberapa bulan lalu. Dia seperti mengetuk pintu apartemenku. Meskipun rasanya aku tidak pernah kuasa bertatap muka dengannya. Meskipun aku selalu penasaran dan ingin bertanya, darimana dia tahu bahwa aku ini menikmat cappuccino?

Aku tidak pernah menginginkan ada perjumpaan tidak sengaja antara wajahnya dengan wajahku. Aku tahu, jika itu terjadi aku butuh waktu sedikitnya tiga hari untuk mengatur nafasku kembali. Dan meyakinkan diriku bahwa, dia hanya seorang wanita. Selebihnya, dia hanya lebih tua beberapa tahun dari aku. Dan sisanya, aku pasti akan berkaca lebih lama dihadapan cermin. Bukan, bukan untuk melihat bahwa dia lebih cantik dari aku atau aku lebih cantik dari dirinya. Tetapi, aku hanya ingin melihat bahwa menikmati cappuccino yang sudah dingin itu rasanya hanya setengah, dan setengah lagi terbawa angin.

Lantas garis Tuhan berkata lain. Dia disni, di Kota ini. Dan dia tahu, bahwa aku adalah penikmat cappuccino. Apa dia pernah mencari tahu aku? Atau semua ini tidaklah hanya ketidak sengajaan. Ketika kita sangat tidak ingin sesuatu, maka sesuatu itu akan semakin mendekat kepada kita. Seperti wanita itu. Jika aku boleh mengulang dua tahun lalu, mungkin aku memilih untuk tidak pernah berjabat tangan dengannya dan berkata “Hallo” Oh tidak, kami tidak pernah berjabat tangan. Karena saat itu dia berkeringat, dan hanya mengelap dahinya lalu membenarkan kacamatanya yang mungkin terkena tetesan keringat.
Sejak saat itu aku selalu berdoa pada Tuhan untuk tidak menakdirkan aku berhadapan dengannya lagi. Dan beberapa waktu lalu, aku pikir itu hanya ujian. Terkadang untuk membuat manusia lebih sadar dengan indahnya pelangi, maka Tuhan akan mengirimkan hujan terlebih dahulu. 

Aku masih ingat, rasanya tidak ada obat penawar kepelikanku saat itu. Disaat yang sangat berat untuk bisa sejajar dengan perempuan itu. Aku mati-matian, sangat sedikit waktu untuk memejamkan mata. Aku menghitung berapa banyak dia belajar dalam satu hari? Dan berapa banyak aku tidur. Aku juga menghitung, mungkin aku sudah ketinggalan jauh. Tapi, aku ternyata tertinggal sangat jauh. Sampai aku tidak tahu harus darimana memulai. Yang dapat menyenangkan hatiku saat itu hanya, memikmati secangkir cappuccino saat malam tiba, ditemani dengan ratusan soal-soal ujian. Soal-soal yang mungkin bisa membuat aku sejajar dengan perempuan itu. Dia menjadi “inspirasi” terbesarku saat itu. Begitu kira-kira. Dan sisanya lagi hanya suara tinta pulpen menyentuh kertas, atau musik-musik klasik yang semakin malam suaranya semakin mengecil, dan menghilang dalam kelam. Lalu aku tertidur. Begitulah, sangat berat.  

Dipagi hari, saat aku membuka mata. Aku mungkin telah melupakan perempuan itu. Lalu dia akan hadir lagi setelah sekian lama tidak pernah ada diingatanku. Dia hanya hadir sekali-kali saja. Dia juga tidak sepenuhnya ku ingat, hanya sekali-sekali saja dalam waktu-waktu tertentu. Yang kadang harusnya dia tidak ada. Aku pasti tidak akan pernah sedikitpun mengingatnya saat aku pelan-pelan meneguk cappuccino. 

Aku pernah menjadi seperti perempuan itu. Sebetulnya. Dan aku tahu persis bagaimana rasanya. ***

Pagi itu Ibu menelponku, sedikit mengabarkan bahwa Ibu sehat. Jarak kami menjadi sangat jauh. Ibu barusan habis buka puasa, sementara aku baru saja memulai puasa. Puasaku lebih lama dari Ibu. Ibu membahas bahwa, Adik tiri perempuanku akan menikah. Itu artinya dia akan melangkahi aku. Sementara beda umur kami enam tahun. Bagi keluarga Ibu dan juga Ayah tiriku itu tidak menjadi masalah. Toh Adik tiriku sudah berumur 21 tahun, sudah boleh menjadi istri orang. Tapi bagi Ibu pribadi ini adalah hal sangat berat. Ibu sudah menginginkan aku menikah. Tapi Ibu tidak bisa memaksaku, terlebih setelah kami tinggal berjauhan. 

Pemaksaan-pemaksaan itu lambat laun menghilang. Ibu kemudian memberiku waktu hingga enam bulan, mungkin untuk mencari pasangan hidup. Aku hanya diam, ada suara-suara tak terdengar mengatakan, mencari pasangan hidup itu bukan seperti mencari ide untuk menulis tesis, bisa lebih sulit bisa juga lebih mudah. Hanya aku selalu percaya bahwa, seseorang yang baik sedang Tuhan siapkan untuk aku. Sebuah kalimat yang kadang hanya terucap dalam kesendirian dan dalam gelapnya malam. Tidak pernah ada yang mendengar itu. Tidak pernah juga ada yang tahu. Mungkin hanya Tuhan, dan racikan cappuccino yang perlahan masuk kedalam tenggorokanku. Mungkin dia menguping kalimat tak terucap itu. Hidup memang begitu.  

Aku tidak suka membahas pernikahan sebetulnya. Karena itu sangat misteri. Aku pikir aku masih kurang baik untuk mendampingi orang baik. Aku juga masih kurang pintar untuk mendampingi orang yang sangat pintar. Aku juga masih kurang sabar untuk didampingi oleh orang sabar. Aku masih kurang cukup dewasa untuk mendampingi orang yang jauh lebih dewasa. Aku juga masih kurang pengertian untuk disampingi oleh orang yang sangat pengertian. Dan mungkin, begitulah waktu diulur. Untuk membuat orang menjadi lebih baik. Atau waktu diulur untuk menyadarkan masing-masing manusia bahwa, sejauh apapun dia pergi dia selalu butuh rumah untuk kembali. Bagiku tidak ada yang hilang dalam setiap kelamnya malam, karena Tuhan selalu menggantinya dengan terik matahari di pagi hari. 

Begitu juga pertemuanku hari ini di taman kampus dengan seorang pria. Aku pikir pria ini adalah orang yang hendak bertanya mengenai tools yang aku gunakan dalam analisis ditulisanku, ternyata bukan. Dia adalah orang Indonesia yang sangat suka melakukan perjalanan. Dan dia menemukan aku disebuah alamat blogku. Lalu kami berjumpa. Pria ini berumur sekitar tiga puluh lima tahun. Belum menikah tetapi sudah melingkarkan sebuah cincin dijarinya. Dia sudah bercalon katanya begitu. Dia tertarik dengan perjalananku ke Amerika Latin beberapa bulan lalu. Dia belum pernah melakukan perjalan seorang diri ke Negara—negara di Amerika Selatan. Aku sendiri hanya berbekal kursus Bahasa Spanyol saat kuliah S1 dulu. Sisanya, Emma yang selalu mengajari dengan bayaran secangkir cappuccino racikanku. 

Kami tidak berbicara banyak tentang perjalananku karena semuanya sudah ku tulis diblogku. Layaknya orang-orang Indonesia yang saat berada diluar negeri lalu bertemu dengan orang Indonesia. Itu seperti bertemu saudara. Kami lebih banyak berbicara mengenai kolak pisang, es buah Cirebon, sate ayam, soto betawi, dan ah aku ingin menambakan cappuccino tapi tentu saja tidak. Pria itu berjanji akan mengirimu rencana perjalanannya yang harus aku baca dan komentari. Sementara dia bertanya, 

“Dari tulisan panjangmu itu aku hanya penasaran dengan Fernando Jose. Siapa dia? Apa kamu jatuh cinta pada pria Latin? Hah aku tahu banyak pria Latin tampan disini, kau bisa pilih satu. Haha” 

Suaranya seperti seorang Kaka yang meledek adiknya yang kasmaran. Aku tersenyum dan tertawa sendiri dalam hati. Lucu sekali dia itu. Mungkin dia tidak hidup dijamanku. Atau perhitunganku sangat jelas. Saat itu pria itu sedang duduk dibangku kuliah S1 dengan sibuk mendemo sistem pemerintahan Soeharto, mana sempat dia menonton telenovela. Hanya ku balas dengan senyum. Tapi dia melontarkan candaan lagi.

“Eh Ra, gakpapa lagi. Kalau cewek Indonesia kawin sama cowok Latin, wah saya jamin anaknya ngalahin Marcel Candrawinata.” Pria itu seperti mencoba mengakrabkan diri. Anehnya dari setiap kumpul-kumpul orang Indonesia di Kota ini dia tidak pernah tampak. Ini pertama kali aku bertemu dengannya. Dan sepertinya dia tidak bersekolah di kampusku. Mungkin di kampus tetangga. Sama seperti perempuan itu. Dia tidak bersekolah di kampusku. 

Aku hanya tersenyum menanggapi ledekannya. Aku teringat kolega-kolega di kantorku. Mereka selalu meledek ku setiap kali berbicara “Pria”. Menurut mereka aku adalah satu-satunya sasaran empuk untuk menghina. Karena dalam sekian puluh tahun umurku. Aku tidak pernah berpacar. Aku hanya mempunyai hati dan perasaan, itu saja.

“Ah kok senyam senyum aja si Ra. Saya penasaran lho, kamu ke Amerika Latih, belajar Bahasa Spanyol hanya untuk bertemu Fernando Jose. Artinya kamu sudah kenal dia dong? Atau jangan-jangan kalian berpacaran lewat internet. Dan kamu sekolah disini, menjadi lebih dekat untuk menemui sang pujaan hati.” Aku semakin ingin tertawa yang tak kuasa ku tahan. Pria ini, sangat berbeda dengan wanita, yang hanya menatapku saat aku meminum cappuccino. Pria ini sangat periang. Tapi membuatku menjadi lupa getar tenggorokanku saat meneguk cappuccino. Aku hanya tertawa kecil.

“Ah Mas hidup dijaman apa sih? Masa gak tahu Fernando Jose! Yasudah bagaimana kalau aku traktir cappuccino? Sebagai perkenalan kita minggu depan setelah lebaran. Saya ingin merayakannya, karena ada pembaca blog saya yang kopi darat di negeri orang dengan saya. Bagaimana?” Aku mencoba menawarkan.

Aku tidak setegang saat berhadapan dengan perempuan itu. Pria ini, yang katanya bernama Dwiki Negoro sangat approachable dan selalu membuka kalimat yang mungkin kami bisa menjadi teman baik. Aku berjanji akan memberikan rekomendasi-rekomendasi terbaikku untuk perjalanan Amerika Latinnya. Dan aku juga berjanji akan mengatur waktu dia bertemu dengan Emma, agar dia tidak penasaran lagi dengan Fernando Jose. Dan berhenti untuk berpikir bahwa aku berselera bule. Apalagi bule-bule berwajah Nabi Yusuf, tidak sama sekali aku tidak tertarik. Bagiku, wajah-wajah penyayang dan jujur orang Indonesia lebih determined

Kami mengakhiri pertemuan singkat itu. Kami akan bertemu lagi satu minggu lagi disebuah coffee shop seberang kampusku. Aku akan membawa Emma dan juga foto jaman muda Fernando Jose. Aku sudah membayangkan bahwa Mas Dwiki akan tertawa terbahak-bahak kalau dia tahu siapa Fernando Jose itu. Dan tentu saja Emma akan mengingat kembali cerita dibalik perjalanan Amerika Latinku. Aku tidak sabar untuk meneguk cappuccino bersama teman baruku dan Emma. ***

 Sudah satu jam lebih aku menatap komputerku. Ide-ide untuk menulis paper kadang datangnya sangat tidak terduga dan hilangnya juga tidak membekas. Dan kali ini aku stuck. Aku hanya menulis satu paragraf dan membuat workflow untuk analisis yang lain. Aku terdiam. Seharian ini aku belum mengecek emailku. Ku refresh tab yang masih membuka emailku. 
 
Sebuah email, dari dia. Aku menutup mataku paksa. Inhale, exhale. Aku buka, 

“Semangat untuk menulis tesisnya, Ra!” Hanya itu. Orang itu. Ku tutup kembali email itu. Aku tinggalkan mejaku menuju dapur. Meracik cappuccino. Aku butuh tegukan-tegukan racikanku. Orang itu, kadang membuatku tidak mampu bernafas lancar. Dan kadang membuatku bahagia tak tertahankan. Tapi itu dulu. Sekarang rasa-rasanya dia sudah berubah. Sudah tidak segesit dulu. Sudahlah, hanya cappuccino yang dapat mengobatiku dari ingatan akan orang itu. Sudahlah, terkadang kita memang harus lebih bisa menerima. Karena hidup itu memang begitu. Dia sudah terlalu tahu bahwa aku mempunyai sebait kalimat-kalimat yang kadang hilang begitu saja, dan kadang datang tak tercegah. ***

Satu minggu berlalu, aku dan Emma sudah siap-siap berjalan menuju coffee shop untuk Mas Dwiki. Aku juga sudah mengomentari rencana perjalanan ke Amerika Latin dan memberikan rekomendasi-rekomendasi terbaik yang aku tahu. Pertemuan kali nanti biarlah Emma yang banyak bercerita bagaimana kehidupan asli disana. Aku rasa Mas Dwiki ingin membandingkan karakter manusia Indonesia dengan manusia-manusia Amerika Latin yang negaranya berada di Ekuator. Mungkin untuk memperkaya tulisan disertasinya. Aku pernah juga menyampaikan kepadanya bahwa Brazil dan Venezuela adalah dua penghasil kopi yang sangat baik di Amerika Selatan. Kedua Negara tersebut juga penyumbang terbesar pasokan kopi dunia. Tapi Mas Dwiki bukan aku yang akan rela nongkrong berlama-lama disebuah kedai kopi hanya untuk menikmati asap panasnya. Biarlah dia tahu bahwa mengobrol denganku, asap-asap cappuccino nanti akan menemani pembicaraan kami. 

Aku dan Emma sudah berada di pintu coffee shop seberang kampus. Tapi aku tidak melihat wajah Mas Dwiki. Padahal dari tulisannya disms dia sudah di coffee shop dari sepuluh menit yang lalu. Dan datang lebih awal karena habis menjemput calon istrinya. Tapi aku tidak melihatnya dari luar. Aku dan Emma masuk dan mencari pilihan tempat duduk termudah dijangkau mata orang yang sedang janjian. Mataku mulai berjalan-jalan mencari. Satu, dua, tiga, sudut aku berputar lalu mataku terhenti. Perempuan itu, iyah aku tidak salah lagi. Itu dia. Yah itu dia. ***
Bersambung

Depok, 01.20 AM
17 Juli 2014
Hidup itu memang begitu. Terima saja, karena hanyalah perpindahan dari satu takdir ke takdir yang lain.

Comments

Popular posts from this blog

Operasi Sapu Lidi

Salah satu contoh operasi hitung sapu lidi Sumber gambar :  dayufunmath.wordpress.com Usiaku saat itu masih enam tahun. Hari itu Kakekku resmi mendaftarkan aku sekolah. Ku lihat lagi selembar ijazah yang dikampit oleh Kakekku. Ku perhatikan baik-baik. Ada fotoku dua bulan lalu. Lucu. "Itu apa Kek?" aku menunjuknya. "Ini ijazah sekolah Neng yang dulu di Jakarta. Buat daftar sekolah disini" kemudian Kakekku menjelaskan. Tidak satu orangpun diantara barisan pendaftaran sekolah itu yang membawa lembaran bernama ijazah sepertiku. Nampaknya cuma aku seorang. Senin diminggu pertama sekolah. Aku sangat gembira. Seragamku kini putih merah terpisah. Rok rempel jahitan Nenekku dan kemeja putih bekas sekolah Taman Kanak-Kanakku dulu di Jakarta masih terpakai dan layak. Meski seragamku bekas, tetap terlihat paling bercahaya. Entah? Rasa-rasanya semua anak disini seragamnya tidak disetrika, apalagi mengkilat seperti seragamku. Sejak Ibuk...

Toraja Funeral, people can see your social stage from this moment..

I would say that I was really curious to know more about this moment, yes definitely Toraja Funeral. It has been three couple months from the first time when  I came here in Toraja which it splits to two districts, Tana Toraja and North Toraja Districts.  There are some differences between Tana Toraja and North Toraja, even thought this area was one district as Tana Toraja District. It spat about last 2009s.  Last three couple days I was seeing the funeral. It was scary for me due to many of buffaloes dead and people looked like happy to do it. I was wondering when some people were killing the buffaloes. They were pretty much laughing and saying “Hey the buffalo come here, don’t go anywhere after he killed a poor buffalo and the buffalo was much angry to him. They killed the buffaloes were so wicked and cruel, I thought that it would make the buffalo so scare. But again it was because the ‘adat’ rules. They had to kill the buffalo like t...

TE466 Self-branding Assignment: Fikriyah Winata

One day, my roommate told me: “Fik, you should take a rest. You have been working too long, take a break and don’t be too hard to yourself.”   I suddenly stop writing and calculating some math on GRE problem sets—at that time, I was preparing for my PhD application. Her thoughts about how hard I worked stopped me for seconds and gave me time to think and ask, “Have I been working too hard?”   I personally never think that I work ‘hard enough’, I always feel never enough in working. I always demand more to myself to improve my quality to be a better person. I take everything very seriously including something very small for others. To me, there is no unnecessary thing. Everything is important, and everything has its own value. And I will be taking every single work I have seriously, even it is only doing some dishes at my kitchen home.  My roommate’s perspective then made me really counted the duration I was studying, the number of problem sets I had solved, and how...