Ranting itu kini patah. Itu bukan salahku, aku mencoba membela diri. Aku tidak pernah meminta ia untuk menuruti maunya angin, aku juga berkata padanya ia harusnya lebih kuat. Tebasan angin bukanlah alasan untuk menjadikannya patah. Ia menatapkanku dengan tatapan nanar, mungkin jika ia bisa ia sudah membunuhku sejak lalu. Sejak ia patah. Sejak itupula ia membenciku dengan makian tak berendus. Lagi-lagi aku katakan padanya, itu bukan salahku. Aku tidak ingin dipersalahankan lagi olehnya. Tapi hari ini ia bercerita lagi padaku, ia patah. Aaah, ranting itu. Hobi sekali patah, pikirku. Mana aku peduli, alih-alih nanti ia menyalahkanku lagi. Tapi nampaknya ia sangat berduka. Aku menoleh sedikit saja untuk melihatnya. Tapi ia menatapku dengan wajah penuh duka. Aku iba. Aku menghampirinya perlahan. Wajahnya, sungguh aku kasihan. Aku hampir tidak percaya, keceriaannya yang dulu ia pamerkan mentah-mentah di hadapaku seperti tersihir oleh keduakaannya yang mendal...
This blog has (almost) been inanimated for years. I envision to start writing and sharing again. I wrote in English & Bahasa Indonesia (mostly in Bahasa Indonesia for posts before I attend a grad school). I will be in touch soon!