Skip to main content

Perjanjian Kita

Ku perhatian ufuk itu perlahan, disana ada jingga yang lama-lama kelabu lalu menghilang. Persis seperti perjanjianku dengannya, perjanjian tidak sengaja yang kemudian "memaksaku" untuk kembali. Aaah, mungkin sudut kaca itu menjadi saksi mati bahwa janji untuk kembali benar adanya, dengan sadar aku berkata. Bahwa, aku akan kembali. Dia masih belum bergeming, bukankah harusnya dia yang mempersiapkan segalanya untuk menyambutku? Menyambut seseorang yang dengan tulus merindukannya, menyelipkan dalam setiap doa disetiap sujud malamnya untuk bertemu. Tapi nampaknya, dia masih tidak bergeming. Jingga itu benar-benar hilang ditelan malam. Lalu, masihkah kau menungguku?

Hari itu kami sibuk mengepak semua barang-barang kami yang jumlahnya menjadi berkali-kali lipat jumlah barang yang kami bawa. Packing harus sempurna karena jatah bagasi yang diberikan maskapai Delta Airlines sangat terbatas, 46Kg yang bisa dipartisi menjadi dua bagasi dengan masing-masing maksimal 23 Kg. Tidak ada satupun diantara kami yang memiliki beban dibawah batas maksimal kami. Semuanya over dan mau tidak mau harus dilakukan penyeleksian terhadap barang yang benar-benar ingin dibawa pulang dan barang yang layak untuk ditinggal. Kegiatan malam ini menjadikan malam terakhir kami menjadi sangat panjang. Sudah pukul tiga pagi aku tidak kunjung tidur, dan nampaknya aku memilih untuk tidak tidur. Aku tidak ingin menyesali malam terakhir sebelum kembali ke Indonesia.

Aku mengintip Sari, gadis Medan itu sudah kiyep-kiyep di kamarnya. Barangnya mungkin dua kali lebih banyak dari barang-barangku. Dia juga mengoleh-olehi barang yang cukup mewah yang dia beli saat spring break lalu di Chicago. Aku hanya tersenyum, dua hari diperjalanan pulang nanti akan menjadi dua hari terakhir bersamanya. Kami akan kembali ke rumah kami masing-masing. Tidak ada lagi air hangat dipagi hari, apalagi memasakannya makan malam untuk kami makan berdua. Tidak ada lagi ngobrol ngalor ngidul bersamanya dimeja makan. Mungkin setelah kembali, kami hanya akan berkirim kabar lewat media sosial atau sms. Aku pasti rindu kamu, Nak..

Aku kembali ke ruang tamu apartemen kami. Duduk lesu, aku masih ingat saat pertemuan pertamaku dengannya. Dia menyapaku lembut, ah kadang aku riskan dengan sapaanya. Dia begitu lembut, mempersilahkan aku masuk dalam kehidupannya. Dan tanpa harus meminta izinnya hari ini, aku masuk ke bait huruf-hurufnya untuk sekedar mengatakan, aku rindu wahai kamu yang jauh disana. Aku tidak tahu, apakah dia sudah menemukan bait rinduku atau tidak. Tapi sungguh, hari ini aku rindu sapaan lembutnya saat perjumpaan pertama itu.

Ibuku.. tiba-tiba aku teringat wajah syahdunya. Dia pasti lebih merindukanku, dia pasti sudah cemas denganku, dia pasti sudah berpikir akan menyiapkan makanan kesukaanku yang mana setibanya aku dirumah. Atau dia sudah menyiapkan telinganya untukku, untuk bercerita tentang dia. Beberapa kali aku berkata, sepulang dari kota ini aku ingin menghadiahinya sebuah cerita. Cerita pertemuanku dengannya, cerita bahwa aku akan kembali menyusulnya. Menepati janjiku. Ibuku, dia pasti akan bersedih karena aku akan jauh lagi. Karena aku akan tidak bisa ia peluk, dan hanya akan memberikan rindu pada jarak yang kadang tidak bersahabat. Pada waktu yang berbeda belasan jam. Pada musim yang membuatku tidur nyenyak dan saat pagi tiba, ibu sudah terlelap diseberang sana. Hanya suara gagang telpon yang masih berdecak.

Ayahku.. dia sudah tiada. Hanya hitungan tahun aku berjumpa dan membersamai nafasnya. Lalu Tuhan nampaknya lebih mencintainya dan ingin segera bersamanya. Kami kehilangan, aku kehilangan, meskipun cinta kami tersangkut pada waktu kami terpisah. Ia telah tiada, itu artinya aku tidak bisa membagi cerita ini padanya. Aku tidak bisa bercerita bahwa aku akan kembali ke sini. Aku tidak bisa memberitahunya bahwa aku berjanji untuk bertemu lagi dengannya. Ayahku tidak pernah tahu ini, tapi dia tahu bahwa aku akan bahagia. Persis saat tujuh tahun lalu, saat dia terbangun dari stroke-nya. Aku berada disampingngnya, tidur-tiduran sambil memegang tangannya aku berkata "Apa, aku punya mimpi. Aku tidak akan meminta apapun padamu, aku hanya meminta restumu. Kelak jika kau sudah bisa berkata-kata, tolong katakan bahwa kau merestuiku. Apa, aku ingin mencintaimu dengan ilmu. Seperti yang pernah kau katakan pada ibuku, kau tidak akan mewariskan harta padaku tapi kau akan mewariskan ilmu. Restui aku..." Aku elus-elus tangannya. Dia belum bisa berbicara lagi, tapi aku berjanji suatu hari dia akan tersenyum padaku meski ruang dan waktu kita berbeda. Dan hari ini, aku tahu manusia yang telah meninggal tidak akan peduli lagi dengan kehidupan didunia. Karena kehidupannya di alam sana jauh labih indah. Tapi hari ini, dan gerimis yang tipis aku ingin dia tahu bahwa aku ingin kembali menemuinya, menemui seseorang yang menyapaku lembut saat pertemuan pertama kami. Apa, maafkan aku.. Aku telah jatuh cinta padanya. Maafkan aku jika aku berjanji padanya untuk menemui dia, disana..

Teman-temanku, ada beberapa orang dari mereka yang tahu bahwa aku jatuh cinta pada dia. Mereka berkata, bahwa aku seperti sudah tercuci otak olehnya. Oleh kelembutan sapaanya saat perjumpaan pertamaku dengannya. Sudah terhipnotis oleh keheningan jiwanya, sudah terlabuhi oleh kenyamanan humornya, candanya. Teman-temanku juga berkata, aku sedang jatuh cinta. Jatuh cinta padanya, pada desir anginnya yang kadang membuatku tidak bisa tidur semalaman. Desir angin yang menjadi bencana, kadang duka untuk orang lain. Mereka berkata, aku masih bisa berjumpa dengan dia-dia yang lain. Aku juga masih bisa jatuh cinta kedua kali dalam hidupku dengan dia yang mungkin lebih lembut dan lebih berilmu. Tapi sayang, bagiku jatuh cinta itu cukup sekali jika sudah bertemu dengan dia yang cocok. Maka, aku harus memperjuangkannya. Yah memenuhi janji besarku untuk kembali padanya. Kembali pada dia yang jauh ribuan miles disana. Tapi kemarin, sahabatku Ika bertanya pada-ku, "siapa yang benar-benar kau inginkan?" Dari pertanyaan gamangku diponselnya, pertanyaan dan pernyataan panjang yang tidak mampu ku definisikan. Dia bertanya itu, aku jawab dia. Aku hanya ingin bertemu dengannya, aku ingin menjadikannya sebagai madrasah pribadiku. Aku menginginkan dia, untuk dua tahun saja membersamai hidupku. Memberiku ilmu dan mimpi baru, iyah aku memilih dia.

Ku tutup ponselku. Ku tatap kembali dalam-dalam dinding kamarku, sebuah ikrar disana. Selembar kertas yang mengingatkanku bahwa aku memiliki janji yang besar untuk bertemu dengannya kelak. Aku tahu, aku sedang jatuh cinta. Ya.. pada lembaran-lembaran kertas ini. Kertas yang suatu hari aku akan berterima kasih karena tanpa lelah mengingatkanku..

Ibuku.. lagi-lagi dia berkata, nak.. apa tidak sebaiknya kamu mencoba mencari yang lain? Perjanjianmu dengannya cukup sulit, meskipun banyak orang-orang sebelum kamu. Mereka mampu berjumpa dengannya, baiklah ibu tidak akan memaksa. Ibu tahu bagimu jatuh cinta itu sulit, Ibu mengerti bahwa melepaskanpun jauh lebih sulit. Aku tersenyum, miris rasanya bahwa aku pernah mem-php ibu dengan seseorang. Bukan aku yang berharap tapi Ibu. Lalu sudah hilang saja, aku tidak ingin mem-php dia lagi. Aku mencintai Ibuku, sungguh. Aku yakin, dia yang lembut suaranya tidak akan menipuku mentah-mentah seperti kebanyakan orang yang hanya ingin tahu dan penasaran diawal padaku lalu hilang dalam sekejap kala dia berhasil membuatku jatuh cinta. Aku yakin dia yang pada pertemuan pertama membuatku ingin menemuinya lagi. Dia, aku berjanji untuk kembali.

Kota ini.. ku tarik pelan-pelan gorden plastik itu. Desir angin diluar menusuk pepohonan yang setia menemaninya, pepohonan yang rela menggugurkan daunnya, merelakan ranting-rantingnya rapuh ditebas angin. Pepohonan yang tanpa dosa harus kedinginan dengan balutan salju dan harus berteriak jika angin benar-benar sedang membencinya. Kota ini, dalam beberapa menit kedepan kami meninggalkannya. Kami akan kembali dengan kenangan. Kembali dengan perjanjian yang besar, kembali dengan mimpi-mimpi kebersamaan kami.

Mereka berdelapan belas, dan Ibu Fenty adalah mereka yang menemani pertemuan pertamaku denganmu. Saat aku membuka pelan-pelan tutup jendela pesawat, saat untuk pertama kalinya dalam hidupku menyaksikan daratan bumi yang putih tertutupi salju. Saat pesawat yang ku tumpangi mendarat, aku jatuh cinta. Aku bermimpi, aku akan memenuhi janji besarku untuk bertemu kembali denganmu seperti saat pertama kali kita pertemu. Yah persis seperti itu. Secepatnya. ***


Depok, November 05, 2013
Tulisan ini untuk kalian..
|Sari yang kini mulai sibuk dengan pekerjaannya | Dhama yang sibuk dengan program pascasarjananya| Janu yang paling jauh di Papua sana | Zami yang lagi sibuk sama kelas pembibitan, kita secepatnya ketemu yah | Acca yang akhirnya kita ketemu di Makassar tp udah lama gak berkabar | Anggi yang sepertinya juga mulai sibuk dengan pekerjaanya | Sucita yang satu mimpi SSEAYP-nya tercapai | Riska yang juga satu mimpi 'aca aca'-nya tercapai | Lila yang baby-nya menggemaskan | Lukman yang konon baru menikah | Yusuf yang kini sibuk menjadi dosen | Ali yang tidak ada kabar dan ceritanya | Rijali yang selalu baik dimanapun berada | Prav yang sibuk menjadi jurnalis | Dilah yang sukses dengan metronya juga sudah menikah, akhirnya kita ketemu di Jogja ya| Lia yang keluarganya selalu aku kunjungi | Tulang Witro yang katanya kerja di Bank tapi gak tahu dimana | dan Bli Awan yang sudah memenuhi perjanjiannya dengan kamu, dia kini di Indiana dan konon berpacaran dengan gadis Amerika|

"Dimanapun kalian berada, sesibuk apapun kalian bekerja. Jangan pernah sedikitpun melupakan mimpi-mimpi yang membuatmu jatuh cinta padanya, mimpi-mimpi yang membuatmu ingin menghentikan waktu saat bersamanya. Jatuh cinta itu sulit dan hanya sekali. Begitu bertemu dengan impian yang membuatmu jatuh cinta, jangan pernah melepaskannya. Karena melepaskannya jauh lebih sulit..." --Salam Iowans8

Comments

Popular posts from this blog

Operasi Sapu Lidi

Salah satu contoh operasi hitung sapu lidi Sumber gambar :  dayufunmath.wordpress.com Usiaku saat itu masih enam tahun. Hari itu Kakekku resmi mendaftarkan aku sekolah. Ku lihat lagi selembar ijazah yang dikampit oleh Kakekku. Ku perhatikan baik-baik. Ada fotoku dua bulan lalu. Lucu. "Itu apa Kek?" aku menunjuknya. "Ini ijazah sekolah Neng yang dulu di Jakarta. Buat daftar sekolah disini" kemudian Kakekku menjelaskan. Tidak satu orangpun diantara barisan pendaftaran sekolah itu yang membawa lembaran bernama ijazah sepertiku. Nampaknya cuma aku seorang. Senin diminggu pertama sekolah. Aku sangat gembira. Seragamku kini putih merah terpisah. Rok rempel jahitan Nenekku dan kemeja putih bekas sekolah Taman Kanak-Kanakku dulu di Jakarta masih terpakai dan layak. Meski seragamku bekas, tetap terlihat paling bercahaya. Entah? Rasa-rasanya semua anak disini seragamnya tidak disetrika, apalagi mengkilat seperti seragamku. Sejak Ibuk

We were the IELSP Cohort 8 - Iowa State...

Okay, now let me show my IELSP Cohort 8 - Iowa State family.. I lived with them for 2 months during exchange program, obviously we never knew each other before IELSP. We came from the differences of provinces in Indonesia, from Sabang to Merauke, then we made friends, love, and togetherness.. I love u guys, thanks for filled in my heart for 2 months in Iowa.. Hoped can meet you again in the other occasion.. :D She is Sari Ayu Maghdalena, also known Alien. She was my roommate.  She was biology student at her university. Came from Medan, North Sumatera. Alien was like my daughter. She could not cook, I felt really pity of her when she was hungry. Haha. Then, I always cooked for us then we eating together. I loved to make dinner meals for us, for breakfast we were such 'anak kosan' it was expensive time to take breakfast. We slept over then woke up late. Haha, never 'mandi pagi' as well because of the weather was so COLD just "kucek-kucek' mata, make up, and wen

Japan! I promised u that I would be back!

Tokyo, 25 April 2011 Sekitar pukul 05.00 waktu setempat (Bandara Narita Tokyo) kami landing dari Minneapolis. Kebetulan saat itu rombongan IELSP Cohort 8 Iowa State University sudah tidak ditemani oleh pihak IIEF. Ali Ibrahim sebagai ketua rombongan dan saya sebagai wakil ketua rombongan. Sebagai orang yang sedikit mengerti dunia pesawatan saya mengambil peran lebih banyak saat kepulangan rombongan. Khususnya hari itu.. Delta Airlines (Pesawat kami) terkena petir Setelah mengantri di Security Check Bandara Narita saya segera mengalihkan teman2 untuk menuju Gate kami. Saat itu masih tidak banyak orang, kami berlari 'hurry' karena waktu transit tidak lama dan FYI : security check bandara narita 'agak' remphong, ribet, dan antrinya panjang, maklum Narita adalah salah satu bandara sibuk di Dunia. Setelah menunggu tiba2 ada pengumuman kalau pesawat kami akan delayed selama 30menit. Its okay , itu biasa. Kita tidak pernah tahu apah yang terjadi diudara. Tiba2, delayed