Ranting itu kini patah. Itu
bukan salahku, aku mencoba membela diri. Aku tidak pernah meminta ia
untuk menuruti maunya angin, aku juga berkata padanya ia harusnya lebih
kuat. Tebasan angin bukanlah alasan untuk menjadikannya patah. Ia
menatapkanku dengan tatapan nanar, mungkin jika ia bisa ia sudah
membunuhku sejak lalu. Sejak ia patah. Sejak itupula ia membenciku
dengan makian tak berendus. Lagi-lagi aku katakan padanya, itu bukan
salahku.
Aku tidak ingin dipersalahankan lagi olehnya. Tapi hari ini ia bercerita lagi padaku, ia patah. Aaah, ranting itu. Hobi sekali patah, pikirku. Mana aku peduli, alih-alih nanti ia menyalahkanku lagi. Tapi nampaknya ia sangat berduka. Aku menoleh sedikit saja untuk melihatnya. Tapi ia menatapku dengan wajah penuh duka. Aku iba. Aku menghampirinya perlahan. Wajahnya, sungguh aku kasihan. Aku hampir tidak percaya, keceriaannya yang dulu ia pamerkan mentah-mentah di hadapaku seperti tersihir oleh keduakaannya yang mendalam. Aku ingin memeluknya, rasa iba ini menjadi berkali-kali lipat saat aku terperangkap dalam matanya. Mata itu, ah.. dulu aku disana.
Kau tahu, sudah dua hari turun hujan, katanya padaku. Aku masih belum bersuara. Kali ini aku hanya ingin mendengarkannya. Aku takut jikalau ia berang dan memakanku hidup-hidup, aah tentu saja itu tidak mungkin. Dia hanyalah ranting patah yang lemah. Ia masih melanjutkan ceritanya. Aku tahu, hujan yang ia ceritakan itu adalah hujan terkonyol yang pernah aku dengar. Meskipun sudah dua malam itupula aku terbangun dari tidurku. Kamarku yang hanya sepetak menjadi sangat gersang. Hujan itu, tertahan oleh awan katanya.
Hujan itu malu-malu, kau tahu. Saat kondensasi tidak sempurna bulir-bulir air tidak jadi turun menemuiku. Ia terperangkap, sementara suhu udara sangat panas sehingga penguapan sangat tinggi. Seharusnya air yang diuapkan itu membasahi permukaanku juga menemani tidur lelapmu. Tapi, air itu hanya menjadi titik kecil yang malu-malu. Sehingga orang berkata, hujan banci. Ia terus berkata. Aku masih mendengarkannya dengan seksama, tidak ada alasan untuk tidak mendengarkannya. Rasa ibaku, entah mengapa seperti menguap sedikit demi sedikit. Ia sepertinya hanya butuh didengar. Aku masih tidak sanggup menatap ekor matanya, karena disana dulu ada aku.
Ia masih bercerita padaku. Panjang sekali, aku menahan kantuk yang sejak tadi datang karena ceritanya yang tak berujung. Mulut ku terbuka dan tertutup karena manguap. Ia mulai sadar. Lalu berhenti dan berkata padaku, tidurlah. Aku menghentikan mulutku yang masih menguap panjang. Mataku manemui matanya, seperti ada tanda tanya kecil yang diam-diam ia baca. Tidurlah, katanya. Aku diam, menyesal rasanya menguap dalam-dalam dihadapannya. Ia lalu pergi. Aku, aku masih ingin mendengarnya bercerita.
Esoknya, tidak ada sapaan darinya. Lusanyapun begitu. Pagiku menjadi sangat pagi, pagiku seperti terguyur hujan, bukan hujan banci tetapi hujan lelaki ah bukan mungkin hujan perempuan, hujan yang suka mengomel dan cerewet. Ia pergi lagi, tidak ada cerita panjang yang menyebalkan. Tidak ada pula perkara menyalah-nyalahkanku atas dirinya yang patah. Ranting itu, kemana dia?
Hari ini turun hujan, seperti yang aku lihat. Guyurannya sangat deras, ranting itu? Apa ia pergi bersama hujan? Atau ia kesakitan karena terpaannya yang deras? Atau ia justru bahagia karena akhirnya hujan itu sungguh-sungguh datang menemuinya. Tidak malu-malu lagi. Ranting itu, ah tidak.. Ini bukan salahku, ini salahnya. Aku mencoba membela diri. Ini salahnya, karena dia datang kepadaku untuk bercerita. Bukan aku yang memintanya bercerita panjang. Bukan aku pula yang ingin tahu mengenai tragedi hujan banci yang membuatku terbangun ditengah malam. Ranting itu, kini dia tidak menyapaku lagi. Dan aku mulai gelisah.
Dia tidak ada. Sudah beberapa hari ini ia tidak ada. Ia menghilang, dan diluar masih hujan. Ku tatap perlahan aliran air dari langit itu. Tidak ada yang salah dengannya. Tidak ada hujan banci, hujan laki-laki apalagi hujan perempuan yang suka mengomel. Tapi, aku mulai gelisah. Ranting itu, aku seperti ingin dimarahi. Aku seperti ingin disalahkan, aku seperti, sepertinya lebih baik dia memakanku saja. Karena dimakan oleh rasa kehilangan itu begini rasanya. Dan aku tahu, begini rasanya. Sakit.
Ranting itu kini patah. Tapi itu bukan salahku. Salahku hanyalah, aku takut dimakan oleh rasa kehilangan.
Pusat Studi Jepang, November 09, 2013
Saat break makan siang ditemani derasnya hujan. Peserta training masih terjebak hujan dan tertahan di MUI (mungkin).
Aku tidak ingin dipersalahankan lagi olehnya. Tapi hari ini ia bercerita lagi padaku, ia patah. Aaah, ranting itu. Hobi sekali patah, pikirku. Mana aku peduli, alih-alih nanti ia menyalahkanku lagi. Tapi nampaknya ia sangat berduka. Aku menoleh sedikit saja untuk melihatnya. Tapi ia menatapku dengan wajah penuh duka. Aku iba. Aku menghampirinya perlahan. Wajahnya, sungguh aku kasihan. Aku hampir tidak percaya, keceriaannya yang dulu ia pamerkan mentah-mentah di hadapaku seperti tersihir oleh keduakaannya yang mendalam. Aku ingin memeluknya, rasa iba ini menjadi berkali-kali lipat saat aku terperangkap dalam matanya. Mata itu, ah.. dulu aku disana.
Kau tahu, sudah dua hari turun hujan, katanya padaku. Aku masih belum bersuara. Kali ini aku hanya ingin mendengarkannya. Aku takut jikalau ia berang dan memakanku hidup-hidup, aah tentu saja itu tidak mungkin. Dia hanyalah ranting patah yang lemah. Ia masih melanjutkan ceritanya. Aku tahu, hujan yang ia ceritakan itu adalah hujan terkonyol yang pernah aku dengar. Meskipun sudah dua malam itupula aku terbangun dari tidurku. Kamarku yang hanya sepetak menjadi sangat gersang. Hujan itu, tertahan oleh awan katanya.
Hujan itu malu-malu, kau tahu. Saat kondensasi tidak sempurna bulir-bulir air tidak jadi turun menemuiku. Ia terperangkap, sementara suhu udara sangat panas sehingga penguapan sangat tinggi. Seharusnya air yang diuapkan itu membasahi permukaanku juga menemani tidur lelapmu. Tapi, air itu hanya menjadi titik kecil yang malu-malu. Sehingga orang berkata, hujan banci. Ia terus berkata. Aku masih mendengarkannya dengan seksama, tidak ada alasan untuk tidak mendengarkannya. Rasa ibaku, entah mengapa seperti menguap sedikit demi sedikit. Ia sepertinya hanya butuh didengar. Aku masih tidak sanggup menatap ekor matanya, karena disana dulu ada aku.
Ia masih bercerita padaku. Panjang sekali, aku menahan kantuk yang sejak tadi datang karena ceritanya yang tak berujung. Mulut ku terbuka dan tertutup karena manguap. Ia mulai sadar. Lalu berhenti dan berkata padaku, tidurlah. Aku menghentikan mulutku yang masih menguap panjang. Mataku manemui matanya, seperti ada tanda tanya kecil yang diam-diam ia baca. Tidurlah, katanya. Aku diam, menyesal rasanya menguap dalam-dalam dihadapannya. Ia lalu pergi. Aku, aku masih ingin mendengarnya bercerita.
Esoknya, tidak ada sapaan darinya. Lusanyapun begitu. Pagiku menjadi sangat pagi, pagiku seperti terguyur hujan, bukan hujan banci tetapi hujan lelaki ah bukan mungkin hujan perempuan, hujan yang suka mengomel dan cerewet. Ia pergi lagi, tidak ada cerita panjang yang menyebalkan. Tidak ada pula perkara menyalah-nyalahkanku atas dirinya yang patah. Ranting itu, kemana dia?
Hari ini turun hujan, seperti yang aku lihat. Guyurannya sangat deras, ranting itu? Apa ia pergi bersama hujan? Atau ia kesakitan karena terpaannya yang deras? Atau ia justru bahagia karena akhirnya hujan itu sungguh-sungguh datang menemuinya. Tidak malu-malu lagi. Ranting itu, ah tidak.. Ini bukan salahku, ini salahnya. Aku mencoba membela diri. Ini salahnya, karena dia datang kepadaku untuk bercerita. Bukan aku yang memintanya bercerita panjang. Bukan aku pula yang ingin tahu mengenai tragedi hujan banci yang membuatku terbangun ditengah malam. Ranting itu, kini dia tidak menyapaku lagi. Dan aku mulai gelisah.
Dia tidak ada. Sudah beberapa hari ini ia tidak ada. Ia menghilang, dan diluar masih hujan. Ku tatap perlahan aliran air dari langit itu. Tidak ada yang salah dengannya. Tidak ada hujan banci, hujan laki-laki apalagi hujan perempuan yang suka mengomel. Tapi, aku mulai gelisah. Ranting itu, aku seperti ingin dimarahi. Aku seperti ingin disalahkan, aku seperti, sepertinya lebih baik dia memakanku saja. Karena dimakan oleh rasa kehilangan itu begini rasanya. Dan aku tahu, begini rasanya. Sakit.
Ranting itu kini patah. Tapi itu bukan salahku. Salahku hanyalah, aku takut dimakan oleh rasa kehilangan.
Pusat Studi Jepang, November 09, 2013
Saat break makan siang ditemani derasnya hujan. Peserta training masih terjebak hujan dan tertahan di MUI (mungkin).
Comments
Post a Comment