Skip to main content

DreamCatcher : Amsterdam Kini Bukan Mimpi Lagi


Satu malam di bulan Mei 2010 saya bersama teman saya bermain-main di bandara Soekarno Hatta. Memang salah satuhobby kami adalah memandangi pesawat-pesawat yang terparkir sempurna di Terminal 2 Soetta. Setelah puas bercerita-cerita dan berbagi mimpi kamipun pulang. Namun, tiba-tiba saya teringat akan sebuah foto teman saya yang bertuliskan SCHIPHOL. Kemudian saya bertanya “Lo foto dimana sih yang Schiphol itu?” Lalu teman saya mengajak saya ke tempat itu. Yah, tulisan SCHIPHOL itu berada tepat di Terminal 2F Soetta.

Teman sayapun mengambil foto saya didepan tulisan SCHIPHOL. Kami berharap bahwa ini adalahstimulus yang suatu hari akan membawa kami benar-benar ke SCHIPHOL yang sebenarnya. SCHIPHOL adalah nama bandara yang berada di Amsterdam. Jujur sejak saya mendengar cerita-cerita masa kecil dari kakek saya yang notabene pejuang kemerdekaan RI. Saya menjadi sangat penasaran dengan negeri kincir angin yang dengan kekuatannya menjajah bangsa kita hingga 350 tahun. Semakin hari impian untuk menginjakan kaki ke Tanah Cornelis de Houtman-pun semakin besar. Dengan berbekal impian itu saya kemudian mengoleksi buku-buku Study AbroadEuro Trip, dan rajin membaca blog-blogscholarship hunters yang belajar di negeri itu. Impian itu semakin menjadi-jadi saat saya bertemu dengan seorang professor dari Groningen yang memberi kuliah umum dikampus.

Saya dan teman-teman saya selalu berbagi mimpi, selalu berbagi cerita terutama mimpi-mimpi abroadkami dan kami yakin saat kami bercerita dan berbagi itulah maka semesta akan mendengarnya dan membawa mimpi-mimpi itu dengan sopan menghampiri kami. Then, may the universe pray for us.

Tiba-tiba pada pertengahan Februari 2011, teman saya yang terlebih dahulu berfoto ditulisan SCHIPHOL itu menelpon saya dan bercerita bahwa Maret nanti dia akan ke Amsterdam bersama keluarganya karena ayah-nya ditugaskan kerja disana. Alhamdulillah Ya Allah, saat itu saya menjadi semakin yakin akan stimulus yang kami percaya. Cepat atau lambat saya pasti akan ke Amsterdam juga. Entah bagaimanapun caranya.

Maret 2011, teman saya benar-benar di Amsterdam. Saat itu kebetulan saya sedang berada di Iowa, kami selalu berbagi cerita, bercerita tentang mimpi kami yang saat itu menjadi satu kenyataan. Saya bercerita betapa dinginnya salju di Iowa, kemudian teman saya yang berada di Amterdam bercerita betapa cantiknya Amsterdam, betapa menariknya SCHIPHOL Airport dengan begitu banyak maskapai yang terparkir disana, begitu lembutnya spring di Amsterdam. Lalu mengirimkan saya beberapa foto disana. Entahlah saat itu saya hanya berkata, cepat atau lambat saya pasti disana.

Dan saya benar-benar di SCHIPHOL. Mei 2011
Sepulang dari Iowa, berbekal Invitation Letter yang saya terima dari ISWI - Jerman kemudian saya mencari dana kesana kemari sekeras mungkin juga dengan waktu yang sangat terbatas agar bisa ke Eropa. Subhanallah dengan segala kekurangan akhirnya Mei 2011 saya berangkat ke Eropa, berangkat ke Jerman. Tapi karena kekurangan dana itulah kemudian saya masuk Eropa melalui Amsterdam dengan Garuda karena saat itu hanya harga Garudalah yang memungkinkan. Jujur, meskipun saya begitu memimpikan Belanda, tapi saya tidak pernah kepikiran akan kesana secepat itu. Impian itu terjadi begitu tak terduga, saya sendiri tidak pernah menduga bahwa Allah SWT memberikan jalan itu. Stimulus itu bekerja begitu cepat. Yah, karena kami percaya! Dan Amsterdam kini bukan mimpi lagi..:) *F*W*

Foto yang kami anggap Stimulus. SCHIPHOL di Bandara Soetta. Mei 2010

 

Comments

  1. Memang luar biasa sahabatku yang satu ini. :-)

    Waspadalah ketika bermimpi, karena sebagian besar mimpi itu jadi kenyataan...

    Kemana lagi Fik, target berikutnya... :-)

    ReplyDelete
  2. :) terus menginspirasi kami ya kak :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Operasi Sapu Lidi

Salah satu contoh operasi hitung sapu lidi Sumber gambar :  dayufunmath.wordpress.com Usiaku saat itu masih enam tahun. Hari itu Kakekku resmi mendaftarkan aku sekolah. Ku lihat lagi selembar ijazah yang dikampit oleh Kakekku. Ku perhatikan baik-baik. Ada fotoku dua bulan lalu. Lucu. "Itu apa Kek?" aku menunjuknya. "Ini ijazah sekolah Neng yang dulu di Jakarta. Buat daftar sekolah disini" kemudian Kakekku menjelaskan. Tidak satu orangpun diantara barisan pendaftaran sekolah itu yang membawa lembaran bernama ijazah sepertiku. Nampaknya cuma aku seorang. Senin diminggu pertama sekolah. Aku sangat gembira. Seragamku kini putih merah terpisah. Rok rempel jahitan Nenekku dan kemeja putih bekas sekolah Taman Kanak-Kanakku dulu di Jakarta masih terpakai dan layak. Meski seragamku bekas, tetap terlihat paling bercahaya. Entah? Rasa-rasanya semua anak disini seragamnya tidak disetrika, apalagi mengkilat seperti seragamku. Sejak Ibuk...

Toraja Funeral, people can see your social stage from this moment..

I would say that I was really curious to know more about this moment, yes definitely Toraja Funeral. It has been three couple months from the first time when  I came here in Toraja which it splits to two districts, Tana Toraja and North Toraja Districts.  There are some differences between Tana Toraja and North Toraja, even thought this area was one district as Tana Toraja District. It spat about last 2009s.  Last three couple days I was seeing the funeral. It was scary for me due to many of buffaloes dead and people looked like happy to do it. I was wondering when some people were killing the buffaloes. They were pretty much laughing and saying “Hey the buffalo come here, don’t go anywhere after he killed a poor buffalo and the buffalo was much angry to him. They killed the buffaloes were so wicked and cruel, I thought that it would make the buffalo so scare. But again it was because the ‘adat’ rules. They had to kill the buffalo like t...

TE466 Self-branding Assignment: Fikriyah Winata

One day, my roommate told me: “Fik, you should take a rest. You have been working too long, take a break and don’t be too hard to yourself.”   I suddenly stop writing and calculating some math on GRE problem sets—at that time, I was preparing for my PhD application. Her thoughts about how hard I worked stopped me for seconds and gave me time to think and ask, “Have I been working too hard?”   I personally never think that I work ‘hard enough’, I always feel never enough in working. I always demand more to myself to improve my quality to be a better person. I take everything very seriously including something very small for others. To me, there is no unnecessary thing. Everything is important, and everything has its own value. And I will be taking every single work I have seriously, even it is only doing some dishes at my kitchen home.  My roommate’s perspective then made me really counted the duration I was studying, the number of problem sets I had solved, and how...