Beberapa minggu belakangan ini saya sangat menginginkan untuk duduk dibangku sebuah bus yang melaju sambil membaca buku-buku yang belum tuntas, dilengkapi dengan menatap sekitar, yaitu jalanan yang panjang. Dan hari ini saya telah memilikinya. Saya mulai membaca satu persatu halaman dan meresapi setiap nilai-nilai positif yang saya baca dan mengkaitkannya dengan kejadian-kejadian yang belakangan menimpa, baik menimpa diri saya, orang-orang disekitar saya maupun hal yang terjadi di lingkungan saya. Semua tidak pernah begitu saja terjadi. Tuhan selalu menawarkan dua hal, pertama tawaran untuk memberikan apa yang kita minta dan kedua menawarkan untuk menunda permintaan kita dan akan memberikannya ketika kita sudah pantas dengan apa yang kita minta.
Sebagai manusia kita tidak pernah luput dari yang namanya permintaan dan doa. Karena kedua hal tersebut sebagai bukti betapa kita lemah dihadapan-Nya dan betapa kita menyadari bahwa ada kekuatan yang selalu membantu kita, kekuatan yang begitu dekat bahkan lebih dekat daripada urat nadi kita sendiri. Yaitu Dia dan pertolongan-Nya. Begitu juga dengan saya dan Anda. Kita selalu mempunyai banyak hal yang kita minta. Dari permintaan yang masuk akal maupun bermintaan yang terkadang memaksa, hingga permintaan yang terdengar sangat konyol. Tapi sejujurnya, hanya kepada-Nya kita berani seterbuka itu. Hanya dalam pertemuan dahi dengan sajadah kita merasa begitu pasrah. Begitupun saya, terkadang saya malu kepada-Nya. Saya malu tatkala saya meminta begitu banyak hal, begitu banyak permintaan. Tetapi itulah yang terkadang menjadi hal yang sangat menarik. Sejak kecil saya mendidik diri saya untuk tidak merepotkan orangtua saya, mengurangi permintaan kepada Ibu, men-celengi koin-koin receh hasil berjualan es mambo dan agar-agar di sekolah, menabung lembaran-lebaran uang seribuan yang kadang di-persenkan (diberi uang oleh keluarga--extended family) dari Mamang (baca : Paman) atau Uwa (baca : Pakde) yang pulang dari Kota. Saya selalu memilih untuk menadahkan kedua tangan dan berkata setiap habis solat "Ya Allah, Pipih mau beli tas dan sepatu baru untuk sekolah ajaran baru. Cukupkan tabungan Pipih ya Allah.." daripada meminta kedua benda tersebut kepada Ibu yang bisa saja membelikannya, seperti Ibu membelikan barang tersebut untuk Adik saya. Tapi saya tidak memilih hal sesederhana meminta, karena ada hal besar yang bernama berusaha. Begitu seterusnya sampai saya lupa bahwa saya mungkin sudah lulus kelas kemandirian yang saya sendiri buat. Dan tentu saja, keyakinan bahwa meminta saja kepada sang pemilik segalanya. Tidak usah ragu, tidak usah malu.
Tahun demi tahun, percaya atau tidak permintaan kita menjadi semakin kompleks. Saya yang dulu hanya meminta tas dan sepatu baru dimana 'percakapan' saya dengan-Nya mungkin tidak sampai lima menit kini percakapan-percakapan itu menjadi lebih panjang. Ada banyak sekali yang kita minta. Dan kita semakin menjadi terang-terangan. Pada umur saya sebelum 25 tahun saya tidak pernah mengucapkan dan meminta sebuah permintaan tertentu karena saya merasa belum pantas untuk menerima 'hadiah' sebesar itu. Dan juga ada beberapa permintaan yang menurut saya baru-baru ini saja sering terucap. Misalnya, saya mengajukan permintaan agar beberapa sikap dan karakter saya yang kurang baik dapat saya rubah. Terlepas dari saya tidak pernah ambil pusing dengan pendapat orang tentang saya, sayapun sedikit-sedikit merubah sikap-sikap yang memang harus dirubah dan diperbaiki. Saya sadar, kita tidak bisa berubah seperti menggigit cabai, begitu digigit terasa pedasnya. Perubahan itu membutuhkan waktu dan pencapaian. Tapi percayala proses menjadi lebih baik akan selalu menyenangkan, dan berterimakasihlah kepada orang yang telah berkata jujur akan sikap-sikap kurang baik yang ada pada diri kita.
Sekali lagi kita tidak pernah luput dari permintaan. Tapi apa kita pernah gagal? Apa semua permintaan kita diberikan dengan segera. Tentu tidak. Nah inilah yang kedua yang saya katakan bahwa Tuhan memberikan tawaran untuk menunda permintaan kita dan memberikannya nanti ketika kita sudah pantas. Kebanyakan dari kita, begitu juga dengan saya kita lebih senang menyebutnya gagal. Kegagalan itu konotasinya sangat negatif. Dimana-mana yang namanya gagal ya sakit. Gagal mendapatkan pekerjaan yang diimpikan, gagal menjalin hubungan serius, gagal test ujian kelulusan, gagal diterima di sekolah yang diidaman dan lainnya. Tapi apakah kita tahu bahwa kita tidak pernah seratus persen gagal dan Tuhan tidak pernah seratus persen mencabut mimpi kita. Coba diingat-ingat kapan terakhir kita gagal? Coba dilihat lagi sedikit saja kebelakang, sedikit saja bahwa gagal itu hanya ada ketika kita berusaha maksimal namun belum mencapai target kita, bukan? Kata kuncinya apa? "Berusaha". Gagal itu hanya ada ketika kita berusaha. Pernah tidak kita tidak berusaha, tidak ngapa-ngapain tahu-tahu gagal? Tidak pernah kan? Itu artinya apa? Kegagalan itu adalah sebuah pertanda bahwa kita diberikan kesempatan untuk "lebih". Lebih apa? Orang gagal kok! Orang sedih kok? Orang jatuh kok? Lah.. contohnya saja jatuh, kapan kita merasa jatuh? Saat kita ingin menuju tempat yang lebih tinggi. Klo ditempat yang datar-datar saja apa kita pernah jatuh. Tentu tidak. Begitu juga dengan gagal. Sama. Kita hanya akan gagal ketika kita berusaha. Artinya apa? Gagal adalah bagian dari usaha, bagian dari proses yang harus dilewati. Coba tengok lagi kebelangan, apakah dari seratus usaha kita semuanya gagal? Tidak, pasti ada satu yang berhasil, atau minimal mendekati berhasil. Sekali lagi, kita tidak pernah seratus persen gagal. Misalnya kita gagal mendapatkan pekerjaan yang kita impikan dan bekerja ditempat kerja kita saat ini, ketahuilah bahwa disitulah Tuhan menitipkan rezeki kita, dan disitu pulalah Tuhan mercayai kita bahwa value kita akan lebih bernilai. Atau misalnya kita gagal membangun hubungan yang serius dengan seseorang yang menurut kita baik, kita tidak sepenuhnya gagal juga. Mungkin kegagalan kita akan membuat kita memperbaiki diri, meningkatkan kualitas diri, dan memantaskannya. Mungkin juga kita gagal diterima disekolah impian kita atau bahwa gagal diterima sekolah cadangan kita, lagi-lagi kita diberikan kesempatam untuk memantaskan diri. Meningkatkan kemampuan dan kapasitas kita.
Sekali lagi, manusia tidak pernah dihadapkan pada kondisi seratus persen gagal. Manusia hanya diberikan kesempatan untuk berbuat lebih dan berpikir lebih jauh.
Selamat sore dan selamat berbuka.
Tol Jakarta - Merak, 04 Juli 2015
17.19 WIB
Fikriyah Winata
Comments
Post a Comment