Entah kenapa saat pulang kantor tadi, saat mengayuh motor saya tiba-tiba kepikiran untuk menuliskan mengenai rasa syukur. Sesuatu yang begitu mudah untuk dilakukan namun sebagian besar dari kita lebih memilih untuk sekedar melupakannya dan bahkan tidak peduli. Sebetulnya apa rasa syukur itu? Apakah sesuatu yang sakral sehingga kita membutuhkan persiapan diri yang matang untuk melakukannya atau sesuatu yang sangat mudah dilakukan dan tidak memakan banyak energi? Yah.. Rasa syukur adalah saat kita merasa bahagia dan berterima kasih atas apa yang diberikan Tuhan kepada kita. Apapun dan bagaimanapun itu bentuknya, jumlahnya, kualitasnya, tetapi kita ‘bawaannya’ happyterus dan ada sesuatu yang kadang tidak kita pahami, yang pasti kita merasa senang atas sesuatu yang diberikan-Nya. Rasa syukur tentu saja sangat jauh hubungannya dengan komplain, protes, apalagi mengeluh. Rasa syukur itu sangat sederhana, sesederhana saat kita tersenyum dan berkata dalam hati, “Terima kasih Allah..”
Bagaimana kita membiasakan diri dengan rasa syukur?
Sejujurnya saya pribadi baru mengenal rasa syukur itu saat saya berada dibangku SMA. Dan motivasi saya sangat sederhana. Saya lelah dengan protes, saya lelah dengan komplain, saya lelah dengan sesuatu yang saya ingin rasakan tetapi tidak pernah saya miliki. Saya capek! Saat duduk di bangku SMP dulu, umur-umur SMP adalah umur-umur kita puber. Umur-umur kita mudah sekali terserang rasa cemburu, iri hati, dan rewel. Umur-umur dimana kita sudah mulai mengenal realitas, mulai mengenal siapa diri kita? Siapa orangtua kita? Bagaimana lingkungan dan teman-teman kita? Bagaimana oranglain memperlakukan kita, dan lainnya.
Saya adalah anak kampung pedalaman yang terpaksa harus sekolah di sekolah SMP di Kota Tangerang dengan sebelumnya harus mengulang ujian SD lagi tanpa bersekolah di SD tersebut sehingga semua mata teman-teman di sekolah itu mengejek saya dan berkata“Ah lo nggak sekolah disini tahu-tahu ikutan ujian disini. Itu kan juga gara-gara Bapak lo ajah yang kepala sekolah. Coba kalo enggak?” Ih itu sih nyakitin ya. Bahkan mereka ngelabrak saya dikantin dan toilet. Ngata-ngatain saya. Mereka juga gak tahu kalau saya ini barusaja harus berenti sekolah SMP dengan sekolah hanya satu caturwulan. Mereka gak tahu kalau saya baru saja mengalami trauma psikologis karena ketakutan tidak bisa bersekolah lagi setelah berhenti, setelah cabut dari sekolah SMP sebelumnya. Mereka juga kan gak tahu kalau saya baru saja menanggung beban karena Ibu saya sakit keras dan kami harus kembali ke Kampung Halaman. Mereka gak tahu. Mereka cuma tahu saya anak kepala sekolah yang semena-mena ikut ujian di sekolah mereka. Saya benci. Kenapa sih Apa tuh gitu banget, nggak pernah ngurusin saya selama saya hidup tahu-tahu menyuru ini itu dan saya harus dibenci orang satu sekolah. Akhirnya saya selalu bawa makan selama ujian, tidak pernah ke kantin dan hanya nongkrong di kantor Tanteu yang sebelahan kantornya dengan Apa. Ini lebih aman.
Selanjutnyapun saya selalu sebal dengan Apa yang lagi-lagi tidak pernah memperhatikan saya. Padahal sekolah SMP saya sebelahan dengan SD dimana tempat Bapak bekerja. Saya sangat miskin figur seorang Ayah. Belum lagi saya juga harus bekerja keras untuk bisa menumpang tinggal dirumah saudara. Kenapa sih Apa tidak mengajak saya tinggal dirumahnya? Kenapa sih Apa tidak pernah memberikan saya uang saku biar saya tidak usah bekerja keras dan bisa menikmati hidup dan bermain-main dengan anak-anak? Dan lainnya. Saya selalu protes sama Allah, kenapa sih Allah? Kenapa orangtua saya bercerai? Kenapa mereka membiarkan saya tinggal sama oranglain? Kenapa mereka? Kenapa mereka?
Sampai pada suatu hari di sekolah SMP, saya hanya mempunyai satu motivasi untuk menjadi juara kelas dan juara umum. Hanya karena saya ingin jika nanti suatu saat Ibu atau Apa saya mengambilkan rapot saya mereka akan tersenyum dan bangga, ini lho Fikriyah, anak saya. Itu saja tidak pernah lebih meskipun sampai saya lulus sekolah hal itu tidak pernah terjadi. Saya selalu diserang rasa cemburu yang tak menentu ketika melihat teman-teman saya dijempu tsekolah oleh orangtuanya sementara saya harus naik sepeda mini dan merasakan betapa inferiornya di Jalanan Tangerang berhadapan dengan truk-truk pablik dan kawasan industri. Belum lagi sampai rumah saya harus mengerjakan sederetan tugas-tugas harian yang membuat saya tidak bisa nonton tivi dan bermalas-malasan. Saya benci, kenapa hidup saya kok gitu banget! Gak asik! Gak seru. Saya bahkan pernah karena ingin sekali main time zone dengan teman-temansaya kemudian pulang telat dan nyuri-nyuri. Saya juga sebal ketika saya harus melakukan itu karena rasa bersalah dari nyuri-nyuri main time zone pasti baru expired minimal sebulan, dan selama satu bulan itu pula saya kepikiran, saya sudah cheating. :(
Saya lelah, hidup saya terlalu dipenuhi oleh rasa iri kepada oranglain, rasa cemburu yang tidak pernah bisa sembuh, rasa entahlah saya harus mengatakan dan membahasakannya seperti apa yang pasti saya ingin seperti mereka. Saya ingin mempunyai kehidupan layaknya anak-anak normal lainnnya. Dan saya tidak pernah punya itu.
Hingga akhirnya saya harus menerima kenyataan bahwa kelas XI SMA nilai saya terjun payung. Saya sudah tidak masuk 5 besar kelas. Boro-boro lima besar sekolah, boro-boro juara umum. Jika sudah seperti ini apa lagi yang bisa saya banggakan jika suatu hari, jika suatu hari orangtua saya mengambilkan rapot saya. Meskipun itu tidak pernah terjadi hingga saya menamatkan SMA. KelasXI juga saya harus kehilangan Uwa Elly (Ibu kakaknya Apa yang sangat dekat dengan saya, yang berani memarahi saya, berani mencintai saya seperti anaknya, berani menjadi tumpuan tangisan saya ketika Mamak begitu dan jaman dulu mamak tidak punya handphone dan tidak ada telpon umum di Kampung kami). Ibu meninggalkan kami tanpa sakit sebelumnya, tanpa apapun, saya masih ingat sekali Ibu akan kondangan dan saya mengobrol,dan memujinya bahwa malam ini Ibu cantik sekali. Entah, sejak saat itu Ibu tidak pernah kembali ke rumah, Ibu pergi untuk selamanya saat perjalanan pulang dari kondangan. Tidak lama setelah Ibu pergi, Apa terserang stroke. Memang sih,mungkin apa yang teman-teman rasakan terhadap Ayah teman-teman sangat berbeda dengan apa yang rasakan terhadap Apa. Kami tidak pernah serumah. Saya sulitsekali mendefinisikan rasa sayang saya kepada Apa. Rasanya itu begitu hambar. Ibu Elly selalu menasihati saya bahwa sebagaimanapun itu adalah Ayah kamu. Jujur saya berusaha sekuat yang saya bisa untuk mencintai Apa. Kami begitu jauh. Apa sangat tidak pernah memperdulikan saya, sekolah saya, dan selalu membuat saya benci dan protes terhadap Tuhan. Apa selalu membuat saya kompain, bertanya kenapa?
Sampai suatu hari saya pulang kampung ke rumah ibu. Kampung kami sangat pedalaman, bahkan sampai sekarang masih sangat pedalaman. Saya sangat senang karena ada dua orang yang selalu menunggu saya yaitu Kakek dan Nenek saya. Saya menghabiskan satu minggu disana. Entah kenapa saya capek memikirkan kehidupan saya di Tangerang. Saya capek dengan ini itu. Saya hanya ingin menenangkan diri dengan orang-orang yang saya cintai dan mencintai saya. Bagi saya, “Walapun semenit dan sedetik dalam hidup kita, jika kita bersama dengan orang yang kita cintai dan mencintai kita. Kita seperti merasakan kebersamaan itu selama bertahun-tahun.”
Tiba-tiba dasar di Kampung, tiba-tiba saya mendengar gossip bahwa si Entin (bukan sama sebenarnya) teman sekolah SD saya bercerai dengan suaminya. Padahal dia sudah punya anak 2, bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Innalillahi sayabaru saja seminggu lalu tahu bahwa kini Entin sudah meninggal. Saya yang sudah mulai merasa kesepian di Kampung dan kehilangan teman-teman SD yang sudah pada ke Kota bekerja, mengadu nasib sebagai pembantu rumah tangga kebanyakannya, ada sebagian kecil bekerja di pabrikan. Banyak yang sudah menikah, mempunyai anak, dan bahkan sudah bercerai seperti si Entin itu. Saya sebetulnya tidak pernah ambil pusing dengan kesepian itu karena saya pasti menghabiskan waktu mengobrol dengan Kakek saya, membahas sesuatu yang tidak pernah habis-habis. Kami seperti mempunyai dunia berdua. Dunia kecintaan akan ilmu pengetahuan dan selalu ingin belajar dari hal-hal kecil yang dialami sehari-hari. Tiba-tiba saat itu juga saya berkata kepada Kakek saya bahwa saya ini bersekolah, sudah kelas XI. Sekolah adalah seperti ruang spesial yang selalu saya nanti-nantikan. Sekolah seperti sesuatu hal yang mampu membuat saya bahagia sekaligus lelah dan bosan. Sekolah seperti salah satu destinasi travelling saya. Entah kenapa saya tiba-tiba berkata kepada Ibu saya di Kampung bahwa saya tidak pernah menyesal karena saya harus bersusah payah seperti ini untuk dapat bersekolah. Ibu berkata, “Bentar lagi ya Neng, sedikit lagi kamu lulus. Kuatin ya..” Entah kenapa saya bawaannya ingin cepat-cepat kembali ke Tangerang. Saat itu saya merasa ada sesuatu yang selama ini membebani saya lalu tiba-tiba hilang begitu saja. Saya lebih semangat mengerjakan berbagai kewajiban saya di rumah Kaka Sepupu saya, berbagai pekerjaan saya, saya mengurangi tangisan sebelum tidur. Saya tidak “mau-mau nggak-enggak” entah kenapa saat Kaka Sepupu saya menyuruh saya ini itu saya selalu cepat-cepat dan rasanya ingin mengerjakan semuanya dengan sempurna.
Saya seperti mendapatkan sesuatu yang belum pernah sayadapatkan sebelumnya. Saya menjadi lebih menerima Apa. Saya menjadi rajin menjenguk Apa. Tidur-tiduran disamping Apa yang sudah tidak bisa apa-apa karena stroke. Saya rela untuk membagi mimpi saya kepada Apa meskipun Apa hanya mendengar dan mengangguk. Saya membisikan ketelinga Apa, “Apa, aku mau kuliah. Apa doakan aku ya, aku gak akan berusaha minta uang lagi sama Apa meskipun gak pernah Apa kasih. Apa, dengarkan aku.. Aku mau kuliah di UI Pak.. Apa doakan ya..” Setiap saya menjenguk apa saya tidak pernah lelah untuk membagi mimpi saya kepada Apa yang dulu saya sebel banget, jangankan membagi mimpi, berbicara padanya saya dipenuhi keterpaksaan. Dan entah kenapa saya menjadi tidak terlalu capek. Saya kemudian dipertemukan dengan orang-orang yang mendekatkan saya kepada mimpi-mimpi saya. Keluarga Apa memang sedikit berbeda dengan keluarga Mamak. Keluarga Apa cukup berpendidikan,sepupu-sepupu saya dari Apa mereka rata-rata kuliah, tapi kuliahnya tidak ada yang dinegeri, rata-rata diswasta. Sementara dikeluarga Mamak saya adalah cucu pertama Kakek saya yang mengenyam bangku kuliah. Kakak sepupu saya takut karena saya selalu bilang mau kuliah di UI, semua dinding kamar ditempeli dengan gambar makara UI, tulisan-tulisan UI, dan lainnnya. Kakak sepupu saya dimanasaya tinggal takut kalau saya kenapa-kenapa jika tidak masuk UI.
Entah kenapa saya menjadi semakin ditunjukan kepada teman-teman yang juga banyak mengajarkan saya rentang rasa syukur. Tapi memang semua itu tidak pernah mudah. Saat kita sedang menuju kearah yang lebih baik pasti akan selalu ada rintangan, halangan, dan ujian. Tapi percayalah, “Allah hanya menguji manusia dititiklemahnya.” Jika kita bisa melewati itu, Allah akan berikan kita kesulitan yanglebih sulit, untuk mengukur dan menguji kita bahwa kita pantas “naik kelas”. Saat itu saya mulai sedikit-sedikit mengenal dan mempelajari bagaimana kita bisa menerima apa yang Allah berikan kepada kita. Sesuatu yang terkadang beyond our expectation. Kita mau A, eh dikasih B. Kita marah, kita protes, eh abis itu malu karena ternyata B itu lebih baik dari A. Udah capek-capek protes ujung-ujung lebih suka B. Kan ngeselin. Tapi percayalah bahwa, melatih rasa syukur itu sama halnya dengan melatih diri kita untuk berbuat baik. Salah satu teman kantor saya yang menurut saya cukup bijak dan bisa diajak biacara pernah berkata kepada saya, “Fik, berbuat baik dan membantu orang itua dalah pilihan. Karena itu pilihan, ada konsekuensi kita gak akan dibantu lagi sama orang yang kita bantu. Tapi tidak semua orang berkeinginan untuk membantu oranglain…" Saya setuju. Tapi berbuat baik itu kalau tidak dibiasakan juga tidak akan menjadi kebiasaan. Semua itu perlu dilatih, baik berbuat baik maupun mempelajari bagaimana mengenal rasa syukur. Berbuat baik dan rasa syukur bukan dua hal yang serta merta datang kepada kita dan melengkapi hidup kita. Tidak! Kedua hal ini adalah sesuatu yang harus selalu kita latih. Sehingga menjadi kebiasaan dan kebutuhan. Dan percaya atau tidak rasa syukur itu nagih. Selain nagih juga membuat kita bawaannya ya hepi ajah. Hepi dengan apa yang kita miliki. Hepi dengan apa yang kita punya, hepi dengan segala tanggung jawab kita meskipun sangat memelahkan. Entah kenapa, itu seperti sesuatu yang automatically terjadi. Saya mulai melatih diri saya untuk mengenal lebih jauh dan mempelajari rasa syukur lebih dalam sejak saya SMA, saya menemukan banyak sekali khasiat positif. Saya pernah sudah mendapatkan beasiswa untuk kuliah di UI fully funded scholarship, tinggal bawa diri ke Depok tapi gagal karena saya lolos dipilihan kedua—geografi—dimana jurusan saya pada saat itu tidak ada kerjasama dengan yayasan beasiswa. Saya tetap ke Depok dibekali uang oleh Ibu sebesar 300rb rupiah dan saya bisa menyelesaikan kuliah. Saat itu saya hanya yakin bahwa Allah sudah mengatur semuanya. Rezeki saya hanya sebatas di 300rb rupiah. Rezeki saya buka sebuah asrama mahasiswa yang intensif dengan Kaka Pembimbing, uang saku bulanan, tuition fee, dll. Bukan saya sudah gagal dan saya harus memulainya dengan sangat sulit. Tapi saya selalu bersyukur, mungkin jika saya hidup dengan fasilitas beasiswa yang memadai saat itu saya tidak akan kuat seperti ini. Saya tidak akan selalu meng-encouragediri saya untuk bekerja lebih keras.
Sekali lagi, mengenal rasa syukur, membiasakannya itu perlu dilatih. Kenapa? Karena setiap hari kita selalu mempunyai alasan untuk komplain, kita selalu punya alasan untuk protes ini itu. Sekarang tinggal kita pilih, kita mau komplain, kita mau marah-marah, mau protes dan lainnya lagian itu capek tauk! Ngabisin tenaga tapi gak merubah sesuatu. Kita hanya perlu membiasakan diri dengan rasa syukur. Dan selalu mengingat bahwa semakin kita mensyukuri pemberian Allah, maka Allah akan senang untuk terus memberikan kita lebih dan lebih. Tapi jika kita protes mulu, dikasih A protes, dikasih B protes, ya Allahjuga males lah. Coba deh bayangin kita ajah, kita ngasih sesuatu kepada si A, eh si A malah protes, bagaimana perasaan kita? Jangankan mau ngasih lagi, sebel iya, iya kan? Hehe… Gitu ajah, coba kalau Allah kasih kita eh kita malah protes, Allah pasti males ngasih kita lebih. Tapi jika kita hepi terus dengan segala pemberian Allah, ingat ajah Allah akan memberikan sesuatu yang lebih, Allah akan makin semangat menambah keberkahan untuk kita. Kalau tahun ini bonus turun menjadi hanya setengahnya dari tahun lalu, ya mau diapain lagi, mungkin rezeki kita memang segitu. Mungkin jika bonusnya banyak malah jadi boros dan lainnya (*eh malah curhat) tapi jangan sampai itu membuat kita menjadi lupa bersyukur.Coba belajarlah untuk minta dicukupkan, berapapun rezeki yang kita mintadi cukupkan, cukup untuk beli barang yang diinginkan, cukup untuk bersedekah, cukup untuk membantu orangtua dan keluarga, cukup untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri, cukup untuk jalan-jalan dan beli tiket pesawat (*eh lagi).. Dan lainnnya, intinya bukan tentang berapa banyak harta yang kita miliki, barang-barang mewah yang kita miliki, tapi seberapa besar kedekatan kita kepada Allah yang membuat kita selalu merasa cukup dan salah satunya dengan bersyukur atas segala yang kita miliki.
Saya punya sedikit tips, tapi mohon maaf saya adalah tipe orang yang senang mengapresiasi segala hal-hal kecil yang saya punya, yang ada dihadapan saya. Sehingga tidak sedikit orang yang kadang mengatakan saya lebay dan berlebihan. Tapi saya tidak pernah marah kalau dibilang lebay. Saya hanya ingin membagi sedikit tips sederhana yang kita bisa terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari yang membuat kita menjadi semakin dekat dengan rasa syukur dan menjadikan bersyukur adalah kebutuhan sehari-hari.
Saya membiasakan diri sebelum tidur untuk berdoa (pastinya) dan berbicara atas apa yang membuat saya senang hari itu sekecil apapun itu. Dan saya sudah beberapa bulan ini mencoba me-record hal-hal apa saya dalah satu hari yang patut disyukuri. Sekecil apapun itu. Saya membuat semacam, daftar tulisan 10 hal yang patut disyukuri hari itu. Malamb erikutnya juga, malam berikutnya. Kadang menulis dikertas, kadang menulisnya dimobile-phone di apps Evernote itu sangat membantu, dan lainnnya. Tulis ajah. Dicobadeh seminggu ajah, inshaAllah akan makin banyak hal yang membuat kita semakin bawaannya senang ajah, bawaannya bahagia ajah. Dibawah ini daftar hal-hal yang patut disyukuri menurut saya hari ini. Silahkan dicoba deh hehe :D
Ini contoh bagaimana saya menuliskan 10 hal dihari ini yang menurut saya patut disyukuri. |
Sekali lagi, “Jangan-jangan kita tidak pernah kekurangan apapun, jangan-jangan kita hanya kekurangan rasa syukur.”
Selamat malam dan selamat beristirahat.
Untuk orang-orang yang tidak pernah lelah untuk mensyukuri segala nikmat-Nya, orang-orang yang berusaha mensyukuri nikmat-Nya, dan orang-orang yang akan segera mensyukuri nikmat-Nya.
Depok, 10 Juli 2015 - 01.29 WIB
Fikriyah Winata
Comments
Post a Comment