Skip to main content

Saya (Ingin) Menulis Buku

Beberapa koleksi buku saya
Saya suka membaca, entah sejak kapan? yang pasti buku favorit saya sewaktu saya kecil adalah "Pilar-pilar Emas" pasti kawan baru dengar yah? Baiklah.. sama! Saya sama sekali tidak ingat siapa yang menulis buku tersebut? Yang pasti saya mendapakan buku itu tentu saja dari Kakek saya, di rumah beliau ada. Entah dari mana pula? 

Keterbatasan kami yang hidup di kampung pedalaman, saat itu belum ada listrik di desa kami. Saya tidak pernah belajar pada malam hari, apa lagi membaca pada malam hari. Semuanya gelap, pencahayaan kami hanya lampu minyak tanah, sejenis kaleng bekas susu kemudian dilubangi seukuran paku kemudian lupang tersebut dimasukan kain perca untuk mengaliri minyak tanah, lalu di nyalahkan. Jadilah lampu! Begitu sederhana. Sesederhana apa yang saya baca! 

Seingat saya, umur saya saat itu masih empat tahun. Tapi entah saya sudah lancar membaca. Yang mengajari saya hanyalah Nenek saya (yang sebenarnya tidak bisa membaca) Tapi beliau tahu huruf Hijjaiyah. Alif, Ba, Tsha, dan seterusnya. Ada sedikit kemiripan antara huruf Hijjaiyah dengan huruf latin A B C.. Sementara Kakek saya yang jauh lebih tua dari Nenek saya yang kemudian rajin memberikan saya koran-koran bekas, majalah-majalah bekas, serta buku-buku bekas yang ditinggalkan para tahu yang singgah. Terkadang mahasiswa yang KKN di kampung kami, yang numpang menginap di rumah kakek, atau juga tentara yang mengamankan daerah kami, entah apa yang di amankan?

Seterusnya dan seterusnya. Saya hidup bersama buku! 
Lalu kemudian tetap saja sudah sekolah akses saya terhadap buku masih terbatas. Saya terkadang harus 'menerobos' pintu ruang guru demi bisa membaca, atau merayu penjaga sekolah bahwa yang saya akan lakukan hanyalah meminjam buku, kemudian akan saya kembalikan setelah saya membacanya. Kami ini orang kampung, sulit sekali bertemu dengan buku. Terkadang orang heran dengan saya yang suka membaca, jangankan suka membaca banyak diantara penduduk kampung yang masih illiterate. Miris :(

Kamudian saat SD teman sebangku saya punya sepupu yang sekolah di Jakarta, buku-buku bekasnya secara berkala di kirim ke kampung kami. Saya senang bukan main, setiap malam saya berkunjung ke rumahnya, sekedar untuk membaca. Sampai akhirnya anak sahabat Ibu yang umurnya sebaya dengan saya pun memberi saya majalah-majalah bobo bekas dalam jumlah banyak. Semang bukan main! Hingga saya benar-benar jatuh cinta dengan buku!

Menginjak SMP dan SMA saya hidup di kota, akses untuk mendapatkan buku-buku 'bagus' lebih mudah tapi sayang, jangankan untuk membeli buku untuk membeli sepatu sekolah saja terkadang harus tidak jajan di sekolah. Menyedihkan. Alhamdulilah sewaktu SMA saya punya bisnis flannel (kerajinan menjahit dari kain) yang saya jahit dan design sendiri. Alhmdulillah, sejak itulah saya bisa membeli buku apapun yang saya mau. Saya bisa berjalan-jalan dengan leluasa ke toko buku untuk membeli buku! Merdeka rasanya, senang bukan kepalang. Bisa ngeloyor ke Jakarta, ke Istora seorang diri demi memborong buku yang saya mau! Alhamdulillah.. Buku saya bukan hanya buku pelajaran lagi. Bacaan saya juga sudah bukan Majalan Bobo keponakan ataupun Majalah Wanita Dewasa Nova langganan kaka sepupu. Saya membaca novel, buku-buku non fiksi "how to" dan buku-buku lain yang saya sukai.. :) Hidup rasanya semakin berwarna..

Karena bacaan saya sudah sedikit bertambah, tiba-tiba saya iri. Iri kepada penulis buku-buku itu. Mereka dengan piawainya memainkan kata-kata, dengan merdunya merangkai konflik dan dengan manisnya mengakhiri sebuah cerita. Sempurna! Mereka kenapa bisa? Apa saya bisa?? Timbul keinginan besar dalam diri saya. Saya (Ingin) Menulis Buku.. Dengan fasilitas seadanya saya mulai menulis, namun ternyata menulis itu tidak seperti menggigit cabai, begitu di gigit rasa pedas menyengat. Tidak menulis itu butuh Ilmu, tentu saja. Sejak itupula saya mulai mengikuti pelatihan menulis yang diadakan komunitas-komunitas menulis di kota saya. Saya butuh ilmu, saya butuh pengalaman, saya butuh berjalan dan bepergian ke suatu tempat agar bisa melihat dunia, agar tulisan saya menjadi kaya. Agar tulisan saya bernyawa seperti manusia-manusia dan makhluk Allah lainnya di bumi ini. Saya juga kemudian membeli buku-buku paduan menulis buku dari AnNida, Buku-buku paduan menulis Pak Bambang Trim, dll. Saya (Ingin) Menulis Buku!

Lalu, tadi beberapa menit yang lalu di home facebook saya teman saya Maula foto bersama Pak Bambang Trim dan menginfokan ada pelatihan menulis. Waaah.. Padahal baru tadi pagi saya merapihkan rak buku dan menemukan buku-buku itu.. Buku-buku paduan menulis yang saya beli 8 tahun silam. Aaah.. sejak kuliah saya sedikit agak kurang dalam menulis. Bahkan hampir melupakan mimpi besar untuk menulis buku! Lalu Mimpi itu hidup kembali. Saya (Ingin) Menulis Buku..!

Buku Pak Bambang Trim yang saya temukan di rak buku saya. Saya membelinya 8 tahun yang lalu..


Lets start writing the book! 

Karena saya yakin, menulis buku itu tidak ujuk-ujuk satu buku tetapi semuanya di awali dengan satu huruf, satu kata, satu kalimat, satu paragraf, satu halaman, satu chapter, kemudian satu buku! Bismillah.. Dimana ada keinginan disitu pasti ada jalan.. 

Depok, 15 Januari 2013..

Comments

Popular posts from this blog

Operasi Sapu Lidi

Salah satu contoh operasi hitung sapu lidi Sumber gambar :  dayufunmath.wordpress.com Usiaku saat itu masih enam tahun. Hari itu Kakekku resmi mendaftarkan aku sekolah. Ku lihat lagi selembar ijazah yang dikampit oleh Kakekku. Ku perhatikan baik-baik. Ada fotoku dua bulan lalu. Lucu. "Itu apa Kek?" aku menunjuknya. "Ini ijazah sekolah Neng yang dulu di Jakarta. Buat daftar sekolah disini" kemudian Kakekku menjelaskan. Tidak satu orangpun diantara barisan pendaftaran sekolah itu yang membawa lembaran bernama ijazah sepertiku. Nampaknya cuma aku seorang. Senin diminggu pertama sekolah. Aku sangat gembira. Seragamku kini putih merah terpisah. Rok rempel jahitan Nenekku dan kemeja putih bekas sekolah Taman Kanak-Kanakku dulu di Jakarta masih terpakai dan layak. Meski seragamku bekas, tetap terlihat paling bercahaya. Entah? Rasa-rasanya semua anak disini seragamnya tidak disetrika, apalagi mengkilat seperti seragamku. Sejak Ibuk...

Toraja Funeral, people can see your social stage from this moment..

I would say that I was really curious to know more about this moment, yes definitely Toraja Funeral. It has been three couple months from the first time when  I came here in Toraja which it splits to two districts, Tana Toraja and North Toraja Districts.  There are some differences between Tana Toraja and North Toraja, even thought this area was one district as Tana Toraja District. It spat about last 2009s.  Last three couple days I was seeing the funeral. It was scary for me due to many of buffaloes dead and people looked like happy to do it. I was wondering when some people were killing the buffaloes. They were pretty much laughing and saying “Hey the buffalo come here, don’t go anywhere after he killed a poor buffalo and the buffalo was much angry to him. They killed the buffaloes were so wicked and cruel, I thought that it would make the buffalo so scare. But again it was because the ‘adat’ rules. They had to kill the buffalo like t...

TE466 Self-branding Assignment: Fikriyah Winata

One day, my roommate told me: “Fik, you should take a rest. You have been working too long, take a break and don’t be too hard to yourself.”   I suddenly stop writing and calculating some math on GRE problem sets—at that time, I was preparing for my PhD application. Her thoughts about how hard I worked stopped me for seconds and gave me time to think and ask, “Have I been working too hard?”   I personally never think that I work ‘hard enough’, I always feel never enough in working. I always demand more to myself to improve my quality to be a better person. I take everything very seriously including something very small for others. To me, there is no unnecessary thing. Everything is important, and everything has its own value. And I will be taking every single work I have seriously, even it is only doing some dishes at my kitchen home.  My roommate’s perspective then made me really counted the duration I was studying, the number of problem sets I had solved, and how...