Skip to main content

Alwi

Pagi itu, seperti biasa aku selalu terburu-buru untuk berangkat ke kantor. Kali ini bukan karena ada meeting dengan klien ataupun karena men-training users. Tetapi karena aku ingin berangkat lebih pagi saja. Aku melihatnya, dia duduk didepan televisi. Rumah Kosan kami yang sederhana dengan beberapa bangku plastik kecil dan dua meja dihadapannya semakin mendramatisir kesederhanaan Rumah Kosan kami. Aku melihatnya, Alwi. Matanya sembab, wajahnya murung, dan sepertinya dia memikirkan sesuatu yang sangat berat. Aku memang bukan dukun yang jago cenayang, aku hanya seseorang yang sedikit suka menduga-duga dan berspekulasi. Dan kali ini aku benar.

Aku terprovokasi dan mengalihkan langkah kecilku, bukan ke dapur dan keluar Rumah Kosan lalu berangkat ke kantor. Aku menghampiri Alwi, aku pastikan bahwa aku duduk tepat disampingnya.
“Masih memikirkan jodoh?” Tanyaku singkat. Dugaanku kali ini sudah pasti tidak salah.
Aku memang bukan perempuan yang mengejar sekali jodoh. Selain karena memang belum benar-benar ingin berumah tangga, aku juga yakin bahwa semua hal baik itu akan terjadi diwaktu yang baik juga.

“Fik.. Aku sudah 28 tahun. Dan aku perempuan.”

Saat itu umurku masih 25 tahun. Aku dengan segala keambisiusanku yang kadang kesampaian dan lebih banyak tidaknya. Aku hanya mendengarkannya. Akupun tidak dapat membantu Alwi. Aku bukan perempuan yang sudah menikah, aku tidak ingin sok menasehati orang untuk sesuatu yang aku sama sekali tidak berpengalaman dibidangnya.

“Al.. Pegang tanganku. Coba buka, ini ada berapa?” Aku berusaha untuk berempati pada Alwi. Alwi, adalah perempuan yang ceria dan selalu bersemangat. Mirip-mirip dengan aku dalam beberapa hal. Senang melakukan hal-hal yang merepotkan dan mau menyelesaikannya hingga selesai.

“Ada sepuluh Fik, tangan kamu lima, dan tanganku lima.” Dia berucap.

“Al, aku tahu kamu sudah tidak punya pilihan. Usaha sudah kamu lakukan. Tapi ingat kamu masih punya satu pilihan. Pilihan untuk bersabar.” Aku tersenyum.

“Dan kita masih punya pilihan untuk bersemangat, menikmati hidup, dan mensyukuri semuanya. Kamu pasti bisa Al.” Tambahku lagi. Klasik, begitu pikirku. Tetapi dipagi seperti ini, aku belum berselera untuk berkata-kata lebih.

Aku kemudian pamit dan tidak lupa memeluknya. Alwi pasti kuat, aku yakin. Dia bukan perempuan kacangan yang mau meratapi ketidakmampuannya untuk mencapai sesuatu hanya dengan menangis.

***

Alwi, sudah lama aku mengenalnya. Sejak kami satu Rumah Kosan dan Alwi secara umur lebih tua dariku tiga tahun dan secara angkatan lebih tua dariku empat angkatan. Dia angkatan 2003, aku lupa sejak kapan dia memutuskan untuk kembali ke Rumah Kosan kami, setelah dia sempat pula menghuninya saat kuliah dan meninggalkannya saat lulus. Yang aku ingat, dia kembali serumah denganku dan begitu aku selalu mengingatnya.

Alwi sudah tidak mempunyai Ibu, Ibunya sudah meninggal karena sakit. Tapi bukan itu yang ingin aku bicarakan dalam kata-kataku ditulisan ini. Yang pasti, ketika Tuhan Yang Maha Kuasa mengambil sesuatu yang kita cintai dari kehidupan kita, percayalah bahwa Ia akan menggantikannya dengan bentuk yang lain. Kebahagiaan datang dari sisi mana saja, asalkan kita mau membuka diri untuk itu.

Sejak satu tahun belakangan Alwi getol sekali mencoba peruntungannya untuk mencari jodoh. Selain karena faktor umur yang makin tidak bisa dibohongi, Alwi semakin tua. Begitu dia kerap berucap. Meskipun keceriaan selalu menutupinya. Namun, yang namanya perempuan itu selalu saja takut bertambah tua. Alwi sudah mencoba berkali-kali untuk bertaaruf dengan beberapa ikhwan. Dan masih juga gagal. Dia tidak berhenti untuk mencoba. Aku terkadang bingung, bagaimana dia mengatur fluktuasi hatinya. Jangankan mencoba taauruf dengan beberapa ikhwan lalu gagal, lalu coba lagi dengan ikhwan yang lain. Jangankan begitu, mencoba penjajakan dengan satu pria saja dan gagal, aku mungkin butuh waktu minimal satu-dua tahun untuk bisa bangkit. Haha.. itukan aku ya, bukan Alwi. Alwi—untuk urusan perasaan—ia (sepertinya) ditakdirkan lebih kuat dariku.

Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun tak ketinggalan berganti, Alwi dengan kesibukannya bekerja tidak pernah menyerah untuk berusaha mencari jodoh. Aku terkadang malu dan sering merasa tertampar karena aku begitu malas mencari jodoh. Nemu satu orang saja aku sudah heboh, nemu satu orang saja aku sudah berjustifikasi kalau aku berusaha keras. Padahal tidak ada seujung kuku dengan perjuangan Alwi, ah untungnya tidak pernah ada pembahasan ini. Aku memang belum niat, begitu selalu excuse-ku. Udahlah belum saatnya. Dalam hati.

Dan hari itu, Alwi lagi-lagi bercerita bahwa dia gagal dengan seseorang, entah orang yang mana lagi. Hingga akupun menjadi terprovokasi untuk membantu mencarikannya jodoh. Waktu itu, tepat disaat yang bersamaan sedang ada seorang pria yang menghubungiku untuk dicarikan jodoh juga, ah dayung bersamput. Pikirku. Dengan segala ketakutan—aku sudah pernah mengenalkan temanku kepada temanku yang lain, mereka ended up menikah. Tetapi aku yakin bukan karena aku kenalkan, karena memang sudah jodoh saja—rasa takut mengenalkan orang yang berniat untuk menikah, takut tidak cocok dan down itu tidak pernah luput dari rasa takutku.
Aku, dengan segala ketakutan itu akhirnya mengenalkan Alwi kepada pria itu. Berselang dua minggu mereka bersama murabbi-nya bertemu. Lebih tepatnya Alwi yang ‘membawa’ murabbi-nya. Disisi lain aku senang, tapi disisi lain aku sedih karena setelah hari pertemuan itu, pria tersebut tidak pernah memberi kabar dan kelanjutan proses taaruf tersebut kepada murabbi Alwi. Aku sedikit kesal dan merasa menambah list kekecewaan Alwi dalam pencarian jodoh. Akupun menambah list kegagalannya. Tapi siapakah aku? Aku toh hanya ingin membantu. Aku hanya berpikir bahwa si pria memang tidak niat. Dan membantu Alwi menguatkan dirinya. Meskipun puing-puing kegagalan seperti menerjangku, Alwi mungkin sudah move on dengan kegagalannya, tetapi aku seperti yang belum ikhlas jika Alwi harus kecewa seperti itu (lagi).
Hari demi hari lagi-lagi berlalu. Alwi tidak pernah menyerah. Tetapi entahlah, aku jujur yang menjadi sangat bosan dan lelah. Aku, dengan menyadari betapa Alwi seharusnya tidak bersedih menjadi sebal dan sedikit banyak selalu terpancing untuk berkata,

“Yaudah kalau mau PDKT, pedekate ajah Mbak, tapi expect less ya. Jangan berharap bakalan sampai ke pelaminan dan lain-lain. Temenan ajah dulu. Udah, klo lanjut ya syukur kalau nggak, nggak sedih-sedih banget nantinya.” Aku memberanikan diri dengan kalimat yang datang sekonyong-konyong dari otak, hati entahlah. Dilupakan sejenak dalam kondisi seperti ini.
Duh… sebenarnya aku tidak sanggup berkata demikian kepada Alwi. Aku tahu, saat sedang senang dengan seseorang dan ‘diomongin’ demikian oleh teman itu pasti sangat menyebalkan. Tetapi aku tidak mau Alwi bersedih lagi. Sayangnya Alwi selalu begitu. Hingga pada suatu hari, dia mem-forward sebuah informasi beasiswa S2 dan S3 kepadaku, dimana sebetulnya aku sudah mempunyai informasi yang sama dengan yang dia forward. Besoknya, aku mengajak Alwi untuk bertemu di ruang tivi dan berbicara. Aku yakin ada jalan untuk Alwi. Jalan agar tidak melulu memikirkan perkara jodoh.

*** 

Pagi itu obrolan kami seperti bukan antar Anak Kosan dengan Kakak Kosannya. Tetapi lebih kepada aku yang tidak ingin Alwi terlalu memaksakan diri untuk mencari jodoh dan selalu gagal dibuatnya, namun kali itu Alwi yang menggebu-gebu galau dengan informasi beasiswa itu.
“Why don’t you apply that scholarship?” Ucapku. Hanya itu. “Do it please, Mbak…”

Beberapa waktu sebelumnya, entahlah. Kami sudah berbicara, Alwi melepas les bahasa jepangnya dan mengikuti les toefl, tanpa tujuan apapun.

“Les ajah dulu Mbak, nanti pas butuh udah ada. Tes ajah dulu Mbak, nanti pas butuh udah tinggal pakai.” Kira-kira begitu sedikit saranku untuknya.

Alwi dalam beberapa hal mendengar omonganku, karena ada beberapa track record-ku urusan begini yang menurut dia aku cukup experienced. Perkara ditolak berbagai beasiswa saat S1 dulu, terlebih perkara urusan kegiatan internasional yang tidak jauh dari penolakan juga. Tetapi Alwi sedikit percaya, bahwa pengalaman hidup-ku-didunia-itu mengajarkanku banyak hal yang ingin sekali dia kloning.

Tanpa diduga-duga dan tanpa berharap banyak Alwi lulus beasiswa S2 itu. Dia juga mengambil program studi dikampus kami sehingga masih satu Rumah Kosan. Hidup seperti terus bergulir dan berubah. Aku selalu merasa senang karena dia melibatkanku dalam pengambilan keputusan besarnya. Mengambil S2, dan resign dari pekerjaan yang menurut dia sudah tidak bisa lagi diteruskan. Terlalu menyiksa dan membosankan. Aku hanya mengacungkan jempol untuk ini. Jika tidak hepi mending disudahi saja. Begitu kalimat singkatku saat dia juga berkonsultasi untuk resign.

***

Semuanya berubah. Alwi sudah tidak lagi memikirkan perkara jodoh. Kami sepakat bahwa, setiap hal baik didepan mata yang ada harus dikerjakan dengan sepenuh hati.
“Singkat saja.. Siapa tahu pas sekolah toh kamu nemu jodoh Mbak. Jodoh dan sekolah bukan dua hal yang tidak bisa dikerjaan bersamaan toh. Jadi sekarang, tidak usah dulu deh galau-galau mencari jodoh. Nanti Allah kasih kok Mbak”.

Aku toh pada akhirnya keluar juga kalimat itu. Padahal sudah aku tahan bertahun-tahun. Aku tidak mau menasehati atau berkata perkara jodoh kepada perempuan manapun. Aku tidak berpengalaman. Tetapi pada Alwi, aku berkata begitu.

“Sekolah dulu, banyak pertemanan baru. Hidup baru, dunia baru. Kamu bakalan sibuk sama teman-teman, tugas-tugas, tesis, dan lain-lain. Perkara jodoh diserahkan kepada Yang Paling Berhak saja, Dia sudah siapkan untuk kamu.”

Aku memang lebih muda tiga tahun dari Alwi, tetapi urusan teori jodoh aku selalu diberikan skor A++ oleh kebanyakan teman-temanku, meskipun untuk praktek jodoh itu sendiri aku masih E-, alias tidak lulus, karena belum menikah. Hanya dengan Alwi, aku berani sok tahu. Sok pintar, dan sok-sok-an, karena memang itulah yang Alwi suka dariku. Dari sekian banyak pembicaraan yang sudah kami lalui selama satu Kosan.

***

Tidak ada lagi hari yang kami lalui dengan pembicaraan kegagalan pencarian jodoh Alwi. Obrolan pagi kami selalu kami isi dengan kabar kuliah Alwi, fieldworks-nya, dan rencana tesisnya. Begitu juga dengan aku, aku yang sedang ‘roller coaster’ dengan pencarian tempat berlabuh untuk menyambung hidup dengan judul sekolah S2 di Tanah Pama Sam.
Seperti pagi itu, Alwi sudah bangun lebih dahulu dari aku. Ku buka pintu kamarku, dia sudah duduk didepan tivi.

Morning! Haha masih ngantuk aku. Masih ngumpulin nyawa. Bangun jam berapa Mbak? Udah selesai ya solatnya?”

Aku berjalan menuju kamar mandi yang menempel langsung dengan kamarku dengan mata masih sedikit tertutup. Aku melihatnya samar-samar. Nada bicaraku tidak salah, aku cukup jago dalam berucap-ucap, meski mata masih tertutup.

“Haha dari jam tiga, Fik.” Timpalnya, menyadari aku yang masih tertatih-tatih menyambung nyawa.

“Pantes, 3.30 kamu udah didepan tivi. Gak tadarus? Eh aku wudhu dulu ya. Solat dan lain-lain. Habis salat subuh nanti aku kesitu.” Dari kejauhan aku meninggalkannya, memasuki kamar mandi.

Pagi itu, bahkan terlalu pagi untuk mengobrol. Aku menghampirinya yang sedang menonton sebuah tayangan jalan-jalan-muslim. Aku lupa saluran televisi mana yang menayangkannya. Dia begitu semangat. Itu yang kadang membuat aku begitu bahagia, melihat orang dihadapanku bahagia.

“Ada kabar apa?” Aku membuka percakapan pagi buta itu.

“Fik.. Aku mau selesai nge-kos. Kamu gimana? Nampaknya kuliahku sudah sedikit, seminggu cuma satu dua hari saja harus ke kampus.” Kalimat itu seperti berat.

Bagiku, ini bukan kalimat pertama yang disampaikan oleh seseorang yang dekat denganku di Rumah Kosan ini. Untuk kesekian kalinya, seseorang berkata dengan nada begitu berat saat ingin meninggalkan Rumah Kosan ini. Begitupun aku kelak, ini tahun kesembilan aku di Kosan. Sudah banyak (yang bahkan) sampai menangis saat menyampaikan rencana kepindahannya kepadaku.

“Ah that’s great, Mbak. Aku pikir juga sudah saatnya kamu kembali ke rumah. Your Daddy is waiting. Dan aku pikir ini adalah waktu yang baik. Kamu sudah dewasa dan sudah bisa berdamai dengan Ibu Tirimu.” Aku tersenyum. Sesak rasanya dan selalu begitu.

Aku langsung teringat beberapa bulan lalu, aku bertemu dengan seorang Bapak yang cukup berumur di sebuah kota di Kalimantan. Aku yang tidak pernah menolak diajak mengobrol oleh siapapun, kali itu menghabiskan waktu menunggu pesawat dengan percakapan panjang si Bapak.

“Kamu tidak perlu berlebihan dalam menyayangi seseorang atau siapapun, jika itu terjadi kamu hanya akan menjadi jauh darinya.” Entahlah, padahal percakapan panjang kami tidak sedikipun merambat pada peristiwa yang ada didalam ruang kecil bernama hati. Si Bapak hanya tahu bahwa menurutnya aku adalah pribadi yang penyayang. Apalagi kepada orang yang menurut aku ‘patut’ untuk disayangi.

Mungkin itu ada benarnya, ada banyak sekali Anak Kosan yang cukup klik denganku. Meskipun tidak semua. Kehadiran mereka seperti Kakak dan Adik dalam kehidupan keseharianku dirumah itu. Kadang aku senang menyebut Kosan sebagai Rumah. Sehingga ketika satu persatu mereka pergi, sesak itu tidak berani ku tolak. Begitupun pagi itu saat Alwi memberitahuku bahwa dia tidak akan lama lagi tinggal bersama kami.

Aku sesak, saat itu. Tetapi aku sadar, hidup harus terus berjalan. Manusia datang dan pergi dalam hidup kita, tanpa sedikitpun dapat kita atur. Sungguh, kita tidak pernah bisa memilih siapa-siapa saja yang kita perkenankan untuk terus berada disana, didalam ruang kecil yang orang namai hati.

***

“Fik.. Aku stay dikamar kamu ya. Aku harus menyelesaikan paper-ku untuk ke Korea. Bisa?” Kalimat terpotong-potong disebuah aplikasi bernama WhatsApp mengagetkanku.
“Hey, sure! Kapan Mbak?”

Obrolan kami menjadi sangat panjang. Alwi akan stay di Kamarku pada saat aku harus pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan kantor.

“Kamu stay ajah tanpa aku ya..” Sok ajah lakuin yang kamu mau ya Mbak. Pikirku.
Keceriaannya seolah kembali menemani dirinya. Dia mendapatkannya. Keceriaan dan semangat kembali ia miliki. Aku bahagia.

***

Senja ini, Alwi mengunjungiku. Mengantarkan aku seperempat Kopi. Katanya kopinya enak, mana bisa aku menolak pemberian manusia yang bernama kopi. Sebetulnya sore ini aku ingin sekali berleyeh-leyeh dan tidak menerima tamu. Tetapi yang ingin berkunjung adalah seorang Alwi. Salah satu teman baikku.

“Fik, aku sudah diluar ya..” Kalimat singkat itu membuat aku menjadi bersemangat. Segera ku buka pagar dan juga pintu Kosan.

Kami mengobrol panjang. Sedikit mengenai jodoh, tetapi kali ini. Alwi tidak hadir dengan muram durjanya. Ia mengabarkanku bahwa setelah kegagalannya yang terakhir. Bahwa setelah sidang tesisnya selesai dan dia menyelesaikan wisudanya. Kebahagiaan itu disusul dan dilengkapi oleh keberhasilannya bertaaruf. Bulan depan Alwi akan menikah.

Aku sesak. Sungguh. Tetapi bukan sesak karena kekhawatiran akan kondisi hati seorang sahabat baik. Melainkan sesak karena manahan rasa bahagia. Entahlah. Bagiku, ini benar-benar waktu yang sangat tetap. A perfect time that Allah gave her. Right after she has finished her master program, graduation, and paper presentation. Perfect! Allah Swt. is always perfect in everything. Rasanya aku ingin sekali memeluknya, tetapi aku sedang dalam program mengurangi kelebayan dan mengurangi dramatisasi atas suatu kebahagiaan. Aku hanya ‘bubbling’ dan mengucapkan selamat kepadanya, dengan penuh perasaan tidak sabar ingin menuliskannya. Menulisakan ini. :)

Bertahun-tahun Alwi memimpikan seorang pendamping hidup, seorang iman yang mampu memimpin kehidupan berkeluarganya kelak. Tidak ada satu orangpun yang mengetahui bahwa Allah Swt. sudah menyiapkan skenario begitu tidak terduga. Siapa yang pernah berpikir bahwa Alwi tidak Allah beri jodoh diumur 25, 26, 27, 28 bahkan 29. Tetapi diumur 30, setelah ia menyelesaikan pendidikan masternya. Setelah dia merasa beres dengan dirinya. Siapa sangka?
Tidak ada satupun. Meskipun tiga tahun lalu, misteri jodoh Alwi selalu menjadi pertanyaan besar bagiku. “Allah Swt. apa gerangan yang sedang Engkau persiapkan untuk sahabatku Alwi?” Pun aku tidak pernah sedikitpun berpikir bahwa Allah benar-benar memberikan sebuah skenario yang menurutku sangat sempurna.

Allah tahu tapi menunggu. Menunggu saat yang tepat untuk Ia berikan kepada kita. Begitu aku berucap saat melihat Alwi sudah siap meninggalkan Kosan, sore itu. Diufuk senja, aku segera kembali ke kamarku, menyambar laptop dan menulis.

Allah adalah sebaik-sebaiknya Pemberi Keputusan. Percayalah, Dia hanya akan memberikan kita sesuatu disaat sesuatu itu memang tetap untuk kita. Dan diwaktu yang tepat pula.

September 20, 2015 - 18. 21 WIB


Karena, kesabaran itu tidak pernah ada yang sia-sia. (FW, 2015)

Comments

Popular posts from this blog

Operasi Sapu Lidi

Salah satu contoh operasi hitung sapu lidi Sumber gambar :  dayufunmath.wordpress.com Usiaku saat itu masih enam tahun. Hari itu Kakekku resmi mendaftarkan aku sekolah. Ku lihat lagi selembar ijazah yang dikampit oleh Kakekku. Ku perhatikan baik-baik. Ada fotoku dua bulan lalu. Lucu. "Itu apa Kek?" aku menunjuknya. "Ini ijazah sekolah Neng yang dulu di Jakarta. Buat daftar sekolah disini" kemudian Kakekku menjelaskan. Tidak satu orangpun diantara barisan pendaftaran sekolah itu yang membawa lembaran bernama ijazah sepertiku. Nampaknya cuma aku seorang. Senin diminggu pertama sekolah. Aku sangat gembira. Seragamku kini putih merah terpisah. Rok rempel jahitan Nenekku dan kemeja putih bekas sekolah Taman Kanak-Kanakku dulu di Jakarta masih terpakai dan layak. Meski seragamku bekas, tetap terlihat paling bercahaya. Entah? Rasa-rasanya semua anak disini seragamnya tidak disetrika, apalagi mengkilat seperti seragamku. Sejak Ibuk

We were the IELSP Cohort 8 - Iowa State...

Okay, now let me show my IELSP Cohort 8 - Iowa State family.. I lived with them for 2 months during exchange program, obviously we never knew each other before IELSP. We came from the differences of provinces in Indonesia, from Sabang to Merauke, then we made friends, love, and togetherness.. I love u guys, thanks for filled in my heart for 2 months in Iowa.. Hoped can meet you again in the other occasion.. :D She is Sari Ayu Maghdalena, also known Alien. She was my roommate.  She was biology student at her university. Came from Medan, North Sumatera. Alien was like my daughter. She could not cook, I felt really pity of her when she was hungry. Haha. Then, I always cooked for us then we eating together. I loved to make dinner meals for us, for breakfast we were such 'anak kosan' it was expensive time to take breakfast. We slept over then woke up late. Haha, never 'mandi pagi' as well because of the weather was so COLD just "kucek-kucek' mata, make up, and wen

Japan! I promised u that I would be back!

Tokyo, 25 April 2011 Sekitar pukul 05.00 waktu setempat (Bandara Narita Tokyo) kami landing dari Minneapolis. Kebetulan saat itu rombongan IELSP Cohort 8 Iowa State University sudah tidak ditemani oleh pihak IIEF. Ali Ibrahim sebagai ketua rombongan dan saya sebagai wakil ketua rombongan. Sebagai orang yang sedikit mengerti dunia pesawatan saya mengambil peran lebih banyak saat kepulangan rombongan. Khususnya hari itu.. Delta Airlines (Pesawat kami) terkena petir Setelah mengantri di Security Check Bandara Narita saya segera mengalihkan teman2 untuk menuju Gate kami. Saat itu masih tidak banyak orang, kami berlari 'hurry' karena waktu transit tidak lama dan FYI : security check bandara narita 'agak' remphong, ribet, dan antrinya panjang, maklum Narita adalah salah satu bandara sibuk di Dunia. Setelah menunggu tiba2 ada pengumuman kalau pesawat kami akan delayed selama 30menit. Its okay , itu biasa. Kita tidak pernah tahu apah yang terjadi diudara. Tiba2, delayed