Skip to main content

An LoA: A Story from U.S Graduate Program Hunter

Satu tahun lebih saya, mohon maaf karena ini terkesan sangat dramatisir tetapi bagi siapapun yang pernah merasakan sebagai U.S LoA hunter pasti akan tahu bagaimana, bahwa perasaan itu sangat tidak bisa diceritakan. Untold.

Satu tahun lebih sejak saya 'berjudi' dengan impian saya untuk berkuliah master di Amerika, saya seperti kehilangan masa muda dan masa bermain. Bahkan saya mendapatkan banyak protes dari teman-teman ketika saya diajak main dan jalan-jalan saya pasti tolak. Saya selalu berkata bahwa saya harus belajar. Saya sedang belajar iBT, tahun lalu (2014) saya belajar IELTS dan GRE. Tahun ini (2015) saya belajar iBT dan GRE (juga). Saya benar-benar menseleksi kegiatan-kegiatan yang memang benar-benar penting bagi saya, bagi keluarga, bagi komunitas dan bagi perusahaan tempat saya bekerja. Jika tidak penting-penting sekali saya lebih baik tidak. Saya juga menjadi sangat 'autis' dengan setiap makan siang di kantor sudah tidak pernah lagi makan bersama dengan kolega-kolega di kantor. Saya lebih banyak makan siang sambil belajar di kubikel saya. Pertanyaan orang-orang selalu, "segitunya banget ya?" Tapi saya selalu berkata bahwa ini (yang saya lakukan) pun masih sangat kurang. Diepisode pertama, saya menuliskan betapa perasaan saya sangat tidak bisa digambarkan dan tidak bisa diceritakan.

Hari ini, tadi pagi saya bangun sekitar pukul 07.00 pagi setelah getaran telpon dari Ibu di Kampung sana. Hari ini saya bangun pukul 04.00 karena waktu subuh semakin cepat dan saya tidak ingin lagi telat solat subuh. Setelah solat subuh saya tidur lagi agar tidak ngantuk di kantor. Setelah telpon dari Ibu ada perasaan plong. Entahlah, beberapa hari ini tidak ada lagi yang dapat saya lakukan selain berdoa dan memohon kepada Allah Swt. Karena saya sudah biasa dengan penolakan. Tahun lalu 2014, saya melamar ke Massachusetts Institute of Technology (MIT), University of Washington (UW), dan Boston University (BU). Semua kampus tersebut menolak saya. Saya tidak mundur, hampir semua teman-teman dan orang-orang disekitar saya menyarankan agar saya merubah tujuan saja, ke Eropa, UK, atau Australia. Tidak sedikit orang yang menganggap saya "Ih maksa banget sih, udahlah, Eropa ajah!". Awalnya saya sebal, selama ini saya tidak pernah usil terhadap impian oranglain. Alih-alih saya membantu mereka untuk mewujudkannya. Tapi kenapa, kenapa mereka usil dengan impian saya? Apa salah jika saya ingin belajar geospasial disebuah negara dengan geospatial technology termaju saat ini? Saya rasa tidak ada yang salah dengan keinginan dan impian saya. Semuanya sah-sah saja. Disini saya belajar untuk lebih menghargai impian oranglain.

Berbekal kegagalan dan juga penurunan jumlah tabungan direkening karena biaya ini itu yang sangat besar dikeluarkan, tahun ini saya mendaftar kembali. Mencoba kembali 'berjudi' mimpi untuk berkuliah master di Tanah Paman Sam. Kali ini saya tidak mendaftar hanya tiga universitas. Saya mendaftar enam univeristas, yaitu : Boston University (BU), University of South Carolina (USC), Ohio State University (OSU), Penn State University (PSU), Ohio University (OU), dan University of Illinois at Urbana-Champaign (UIUC). Saya akan menceritakan detail admission untuk setiap universitas tersebut untuk program saya, yaitu MA in Geography / M.S in Geography / M.S in Geographic Information Science (GIS). Enam universitas dengan 3 ragam program yang intinya geospasial juga. Namun setiap universitas mempunyai penekanan geospasial yang cukup berbeda. Setiap kampus di Amerika meskipun sama-sama Geografi, mempunyai fokus riset yang berbeda pula.

Dipostingan ini saya tidak akan menceritakan detail admission saya. Dipostingan ini pula saya tidak sedang menceritakan betapa saya 'berdarah-darah' untuk bisa diterima oleh universitas di Amerika untuk program master yang saya minati. Dipostingan ini saya ingin berkata, bahwa hari ini, pagi tadi dengan tanpa berharap apapun lagi. Saya menerima LoA (Letter of Acceptance) dari Ohio University (OU) untuk program Master of Arts (MA) in Geography, untuk intake Fall 2016. Terima kasih ya Rabb. Jujur, perasaan saya 'lempeng'. Kenapa? Saya tidak senang? Bukan. Saya sangat bersyukur sekali. Perasaan saya 'lempeng' karena dua minggu lalu saya baru saja di tolak oleh Boston University (BU) untuk yang kedua kali-nya. Sementara saya tahu betapa saya menginginkan untuk bisa bersekolah di BU dan tinggal di Kota Boston, Massachusetts. Namun kembali lagi, bisa jadi kita sangat menginginkan sesuatu, tetapi Allah Swt lebih tahu apa yang terbaik untuk kita. Sejak saat ini saya semakin mudah untuk ikhlas. Nothing to loose. Dan sejak saat itu pula saya semakin gencar dengan kampus-kampus yang belum memberikan decision. Semua kampus yang saya apply tahun ini sudah bersedia memberikan saya early decision. Ini juga adalah sesuatu yang tidak banyak diketahui orang lain. Saya juga akan membuatkan postingan tersediri untuk hal ini.

Dan minggu ini, dua minggu ini akan menjadi minggu-minggu yang horror bagi saya. Satu persatu kampus akan memberikan decision apakah saya diterima atau ditolak. Saya (jujur) menjadi lebih mudah untuk ikhlas dan menerima segala keputusan-Nya untuk saya. Karena hanya itu yang saya yakini yang terbaik. Mohon doanya semoga empat kampus lagi memberikan keputusan seperti Ohio University, yaitu menerima saya untuk menjadi mahasiswanya. Aamiin aamiin ya Rabb..


Sumber gambar : http://letters.org
Depok, 04 Desember 2015

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Operasi Sapu Lidi

Salah satu contoh operasi hitung sapu lidi Sumber gambar :  dayufunmath.wordpress.com Usiaku saat itu masih enam tahun. Hari itu Kakekku resmi mendaftarkan aku sekolah. Ku lihat lagi selembar ijazah yang dikampit oleh Kakekku. Ku perhatikan baik-baik. Ada fotoku dua bulan lalu. Lucu. "Itu apa Kek?" aku menunjuknya. "Ini ijazah sekolah Neng yang dulu di Jakarta. Buat daftar sekolah disini" kemudian Kakekku menjelaskan. Tidak satu orangpun diantara barisan pendaftaran sekolah itu yang membawa lembaran bernama ijazah sepertiku. Nampaknya cuma aku seorang. Senin diminggu pertama sekolah. Aku sangat gembira. Seragamku kini putih merah terpisah. Rok rempel jahitan Nenekku dan kemeja putih bekas sekolah Taman Kanak-Kanakku dulu di Jakarta masih terpakai dan layak. Meski seragamku bekas, tetap terlihat paling bercahaya. Entah? Rasa-rasanya semua anak disini seragamnya tidak disetrika, apalagi mengkilat seperti seragamku. Sejak Ibuk...

Toraja Funeral, people can see your social stage from this moment..

I would say that I was really curious to know more about this moment, yes definitely Toraja Funeral. It has been three couple months from the first time when  I came here in Toraja which it splits to two districts, Tana Toraja and North Toraja Districts.  There are some differences between Tana Toraja and North Toraja, even thought this area was one district as Tana Toraja District. It spat about last 2009s.  Last three couple days I was seeing the funeral. It was scary for me due to many of buffaloes dead and people looked like happy to do it. I was wondering when some people were killing the buffaloes. They were pretty much laughing and saying “Hey the buffalo come here, don’t go anywhere after he killed a poor buffalo and the buffalo was much angry to him. They killed the buffaloes were so wicked and cruel, I thought that it would make the buffalo so scare. But again it was because the ‘adat’ rules. They had to kill the buffalo like t...

TE466 Self-branding Assignment: Fikriyah Winata

One day, my roommate told me: “Fik, you should take a rest. You have been working too long, take a break and don’t be too hard to yourself.”   I suddenly stop writing and calculating some math on GRE problem sets—at that time, I was preparing for my PhD application. Her thoughts about how hard I worked stopped me for seconds and gave me time to think and ask, “Have I been working too hard?”   I personally never think that I work ‘hard enough’, I always feel never enough in working. I always demand more to myself to improve my quality to be a better person. I take everything very seriously including something very small for others. To me, there is no unnecessary thing. Everything is important, and everything has its own value. And I will be taking every single work I have seriously, even it is only doing some dishes at my kitchen home.  My roommate’s perspective then made me really counted the duration I was studying, the number of problem sets I had solved, and how...