Skip to main content

And I'm (not) an Engineer


Perkenalkan saya adalah seorang sarjana sains (S.Si). Itu mungkin gelar akademis yang saya peroleh setelah pertengahan tahun lalu saya berhasil menjawab pertanyaan dosen penguji dan menyelesaikan tugas akhir yang bernama skripsi. Far of this, saya kemudian melamar pekerjaan demi melangsungkan hidup. Sebenarnya tidak semua hidup bergantung pada pekerjaan, tetapi culture-nya di keluarga saya dan mungkin di keluarga-keluarga lain di Indonesia. Yah abis lulus kuliah tradisinya adalah melamar pekerjaan (atau sebagian melamar gadis. Haha.. *intermezzo). Bahwasannya katanya keberhasilan seseorang yang sudah sarjana dapat diukur dari kualitas pekerjaannya, besar penghasilannya, dan dimana tempat ia bekerja. Meskipun saya pribadi tidak 100% setuju, banyak hal yang bisa menjadi parameter keberhasilan seseorang setelah aktivitas kuliahnya selesai. Menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, atau melanjutkan kuliah dengan beasiswa full (di univeritas prestigious dalam dan luar negeri), atau melanjutkan bisnis keluarga besar, atau involved di kegiatan sosial dan kemanusiaan, menurut saya hal tersebut dapat dikatakan sebagai aktivitas keren yang bisa dilakukan fresh graduated.

Saya sendiri kemudian memilih untuk menguji peruntungan saya dengan “menawarkan diri” ke beberapa perusahaan swasta. Jauh sejak saya kecil saya tidak pernah kepikiran untuk mengikuti jejak keluarga besar Apa yang rata-rata PNS. Saya punya mindset sendiri untuk masa depan saya. Meski sedikit banyak hal-hal yang berbau genetik masih saya warisi, terutama Apa meski kami tidak memiliki kedekatan emosional layaknya ayah dan anak sewaktu beliau hidup. Beliau yang notabene PNS dengan karir terakhir selama 20 tahun lebih sebagai seorang kepala sekolah SD dan menghabiskan masa produktifnya sebagai business man – jual beli tanah pada masanya. Pada masa tanah masih kosong melongpong dan penggunaan lahan BSD (Bumi Serpong Damai) sebagai Perkebunan Karet. Sekitar tahun 1980-an. Lagi-lagi saya tidak melihat masa kejayaan beliau dan terlahir setelah kejayaannya hampir surut, kemudian collapse, bankrupt, beliau jatuh sakit. Saya bertemu beliau tahun 2001 (pertama kalinya bertemu) hanya cerita dari keluarga (Ibu – kakaknya Apa) dan Mama (tante – Adik-adik Apa). Tapi jauh di dasar hati saya admire beliau,hingga beliau tidak ada. Kemudian saya berjanji bahwa saya akan meneruskan perjuangan beliau. Meski kami berbeda bidang.

Awalnya dengan segenap gengsi saya meng-apply kerja di MNC (Multinational Company) yang rata-rata Oil and Gas, Mining, dan Information Technology. Dengan penuh jujur saya katakan bahwa saya gengsi. Berbekal teman-teman dekat dan jauh yang sudah “sukses” dengan pekerjaannya saya berpikir bahwa kapasitas kami tidak jauh berbeda, kami hanya berbeda bidang. Kalau di buat interval maupun ordinal kami masih satu skala. Tapi lagi-lagi gengsi itu bukan niat yang baik. Saya kemudian menurunkan gengsi dan memulai meng-apply kerja di BUMN dan perusahaan lokal. Saya tidak pernah sekalipun meng-apply kerja diperusahaan GeoSpatial Industry yang sesuai dengan background dan kapasitas saya. Saya bahkan berkata pada diri sendiri bahwa saya sudah tidak sanggup jika harus menggeluti bidang GIS (Geographic information Systems) dan RS (Remote Sensing). Saya tidak sanggup, dunia GIS terlalu rumit, sulit, dan technical, beda dengan saya yang cenderung menyukai hal yang bersifat kualitatif. Terlebih teknologi GIS yang cepat sekali berkembang. Upgrading perangkat lunak tidak terbatas, disini di Indonesia user masih menggunakan software GIS misalnya katakan saja ArcGIS 9.3 yang dimiliki oleh ESRI Inc. yang berpusat di Redlands California, sementara Esri sendiri sudah menggunakan ArcGIS 10.1 bahkan beberapa hari lagi akan launching ArcGIS 10.2. Itu terlalu cepat untuk saya yang kapasitas technical yang kurang. Saya pikir jika saya bekerja di bidang GIS saya khawatir tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi GIS yang sangat cepat dan akan menjadi mainstream dimasa depan. Saya give up!

Kemudian saya putuskan bahwa GIS akan saya tinggalkan. Saya sadar, GIS itu tantangan dan GIS itu adalah future. Apa jadinya jika tidak ada teknologi GIS, saya tidak kebayang jika manusia masih harus membuat peta dengan menggunakan kertas kalkir. Saya tidak kebayangan dengan volume data yang semakin banyak dan besar lalu cara manual seperti kertas bisa menjadi storage. Saya tidak kebayang jika orang masih harus menghitung data spatial dan tabular secara manual. Saya tidak terbayang jika hasil pengukuran lapangan dengan theodolite maupun GPS masih harus ditulis manual. Saya tidak terbayang jika saya hidup pada tahun 1970-80an. Semua serba manual, memakan waktu banyak sementara output yang dihasilkan tidak mampu membantu para map maker menganalisis dengan cepat dan tepat, sehingga pengambilan keputusan harus berlama-lama. GIS itu tools yang memudah kita bekerja (sebenarnya), so berterima kasihlah.. Tapi, saat itu saya belum terbuka. Saya masih melihat kesempatan dan teknologi dengan mata, saya masih memikirkan apa yang oranglain pikirkan. Sementara kita tidak akan melihat apapun jika kita masih melihatnya dengan mata. Mata tidak mampu melihat segala hal, mata kita terbatas. Tertutup tembok saja ruangan sebelah tidak terlihat. Maka hidup dimasa sekarang mata sudah tidak bisa diandalkan untuk melihat, hatilah yang akan membantunya. Karena hati dapat melihat apa yang tidak mampu dilihat dengan mata.

Kembali lagi kepada proses saya bertemu dengan rezeki saya. Satu bulan sudah berlalu, tidak satupun yang saya lamar menghasilkan ijab qobul. Semuanya gagal, entah saya yang kurang cocok, dengan kapasitas yang saya miliki mereka sama sekali tidak tertarik dengan saya. Entah mereka memang tidak butuh saya. Entah saya yang tidak merasakan reaksi kimia sehingga tidak dihasilkan product dari reaktan yaitu saya + company yang saya lamar. Hasil reaksinya selalu gagal. Saya mulai panik, semuanya belum berjodoh. Saya mulai khawatir jangan-jangan ada masalah dengan CV dan Resume saya. Jangan-jangan CV dan resume saya tidak menarik, tidak menjual, dan tidak membuat HR ingin meng-hire saya.
Memasuki bulan kedua pasca lulus saya semakin panik, meskipun saya tetap produktif dan memiliki penghasilan untuk melanjutkan hidup. Tetapi status pengangguran masih membuat Ibu dan keluarga saya bertanya-tanya. Meski panik tetapi saya berusaha untuk santai, sesantai-santainya. InshaAllah tidak ada yang salah dengan diri saya. Saya juga sudah berusaha sebaik-baiknya, melamar pekerjaan, membuat CV&Resume, membuat coverletter, belajar untuk test dan interview. Tapi yah kalau belum ketemu jodohnya yah emang blm jodoh. Itu ajah, bukan karena saya tidak capable. Saya tidak pernah berburuk sangka sama Allah, karena Allah sudah menyiapkan tempat yang terbaik untuk saya.

Kemudian, sahabat saya yang bernama gengsi saya putuskan perlahan-lahan meski dia sedikit marah karena saya tidak setia. Sahabat saya yang bernama malu saya lepaskan juga. Kala itu saya apply semua perusahaan yang buka rekrutmen. Gak peduli perusahaan apapun. Ternyata itu bukan cara yang baik, dan saya tentu saja tidak nyaman dengan apa yang saya lakukan. Kemudian saya kembali bersahabat dengan gengsi tetapi pada pertemuan kedua dengannya saya tidak menyebutnya sebagai gengsi tetapi saya menyebutnya sebagai standard. Sesuatu yang sangat saya pegang. Standard ini bukan menunjukan diri sok atau sok-sok-an ekslusif tapi standard adalah harga mati yang harus dipegang. Tidak boleh diturunkan tetapi hanya dirubah strateginya.

Malam itu saya lupa tepatnya kapan? Yang pasti bulan kedua dari bulan kelulusan saya antara panik dan percaya sama keputusan baik Allah saya menuliskan standard saya yang baru. Saya juga flashback mau dibawa kemana hidup saya ini. Saya buka kembali lembaran-lembaran impian saya saat SMA (impian singkat dan jangka panjang) yang saya tulis dan ternyata berubah-rubah kala itu. Saya genggam kembali lembaran bertuliskan :
Saya ingin menjadi dokter obgin - Impian ini tidak ubahnya impian anak SMA yang sejak berumur 12 tahun, sejak tinggal bersama kakak sepupunya yang mempunyai rumah bersalin dan hampir setiap hari melihat darah, mendengan Ibu-ibu kuat melahirkan buah hatinya, memandikan bayi yang masih merah baru saja berojol, hingga membersihkan pup pertama bayi-bayi yang bukan bayinya sendiri. Saya ingin menjadi bagian dari kebahagiaan pasangan suami-istri atas kelahiran putra putri mereka. Tapi impian itu sirna manakala saya sadar bahwa saya tidak punya cukup biaya untuk berjuang hidup di FK. Kuliah di FK sangat tidak mungkin bias bekerja untuk membiayai kuliah dan hidup saya kelak saat kuliah. Saya coret! Saya sempat menangis saat saya harus menghapus impian mulia itu. Tapi saya ikhlas. Allah tahu bahwa dimanapun dan menjadi apapun kita, kita masih bisa menjadi reason untuk kebahagiaan oranglain.

Saya ingin menjadi Engineer! Aaah ini memang agak konyol. Reasonnya kurang kuat dan agak bodoh. Untungnya tidak saya ikuti. Dulu saya ngefans sama senior saya, Alumni SMA saya yang berkuliah di Teknik Elektro UI. Yah ngefans-nya anak SMA gimana sih? Pasti terinspirasi kuliah gara-gara Idola. Entahlah, gara-gara kekonyolah itu saya menjadi Engineer minded kala itu. Untungnya semakin kesini segala profesi dan bidang itu baik asalkan total dan sungguh-sungguh.  Engineer bukanlah satu-satunya profesi yang keren dan elegant. Tapi hanya satu dari sekian bidang dan profesi yang hebat!

Saya ingin menjadi pegawai WHO yang bekerja di negara-negara tertinggal untuk misi penyelamatan kesehatan dunia. Impian yang tidak kalah mulia dari menjadi dokter obgin. Tapi ternyata Epidemiologi tidak juga berjodoh dengan saya. Saya gagal dipilihan pertama. Gagal juga dengan impian untuk menembus daratan Kenya atau Nigeria untuk memperbaiki kesehatan manusianya, meskipun di Indonesia juga masih banyak yang tingkat kesehatannya dibawah standar tetapi kondisi negara-negara Afrika lebih mengkhawatirkan dan dunia menjadi sangat tidak seimbang, gaps-nya terlalu besar. Itu asumsi saya saat SMA. Tapi lagi-lagi Allah tidak ingin saya disana. Dia punya tempat yang special dan terbaik untuk saya dimana saya menjadi lebih baik (mungkin).

Sementara, menjadi Junior Scientist atau menggondol Sarjana Sains dan berkulian di FMIPA tidak ada dalam daftar impian. Saya mencemooh diri saya, yang direncanakan matang saja belum terntu berhasil dan kesampean apalagi kalau tidak direncanakan, karena itulah impian, target, dan hidup direncanakan adanya sudah menjadi harga mati bagi saya. Apalagi masuk Geografi. Ya Rabb, jurusan apa ini? Tidak ada catatan apapun selama galau SPMB dengan kata Geografi, dimasukan kedalam list pilihan di formulir SPMB-pun karena takut-takut ajah ada factor X dan gagal dipilihan pertama. Ternyata bukan factor X lagi ternyata juga factor J – jodoh. Kemudian di Geografilah saya hidup, di Geografilah saya berkenalan dengan perjuangan, di Geografilah saya belajar dan mulai meng-create hidup baru, masa depan baru, dan merencanakan mau dibawa kemana hidup saya? Mau dikenang sebagai siapa ketika saya meninggal? 

Saya mungkin gagal menjadi Dokter Obgin yang super mulia, saya juga gagal menjadi Engineer yang super keren dan gagal juga menjadi pegawai WHO yang berencana membawa misi kesehatan dunia di negara tertinggal. Dan hari ini, saya bukan Dokter Obgin, saya bukan Engineer, saya bukan juga UN Staff. Tetapi hari ini saya menjadi diri saya sendiri, diri saya yang mungkin selama ini saya cari. Diri saya yang mungkin tujuan dari perjalanan atau justru perjalanan itu sendiri. Terkadang banyak teman yang berbagi kepada saya bahwa dirinya belum menemukan tujuan hidupnya, belum menemukan pencapaian apa yang ingin diraihnya dalam hidup, dan komentar saya selalu “Jika kamu belum tahu apa yang kamu ingin capai dalam hidup, dan belum tahu tujuan hidupmu apa. Maka ketahuilah bahwa mungkin sesungguhnya tujuan hidupmu itu yah perjalanan hidup itu sendiri. Perjalanan yang sedang kita jalani saat ini, dan itu tentu saja hidup ini hebat! Dan kita harus mengapreasiasinya lebih dari ribuan kali..”

Terkadang untuk membersamai apa yang kita impikan, kita harus diputar-putarkan kemana-mana terlebih dahulu baru kemudian kita benar-benar bersamanya, bersama mimpi kita. Bersama diri kita.

Akhir dari pencarian saya selama tiga bulan membawa saya kepada sebuah business card yang bertuliskan nama saya dengan tertulis “GIS Engineer” dibawahnya. Tetapi, bukan itu. Saya sempat senang, waaah ternyata saya tidak perlu duduk dibangku Fakultas Teknik selama empat tahun untuk menjadi seorang Engineer. Tetapi rasa senang itu hanya satu detik, satu detik saat saya melihatnya. Kemudian, kembali kepada GIS is future! And I’m (not) an Engineer..

Wisma Dago, March 4, 2012
Salam hangat,

Fikriyah Winata

Comments

  1. Hai kak fikriyah, senang baca blog kakak :D krn saya juga lagi jadi job seeker hhi. Kak saya juga tertarik di bidang gis,kmren waktu masuk2in lamaran via drop cv diperusahaan ybs kah? Atau via online saat mrk buka lowongan? Thank u :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Operasi Sapu Lidi

Salah satu contoh operasi hitung sapu lidi Sumber gambar :  dayufunmath.wordpress.com Usiaku saat itu masih enam tahun. Hari itu Kakekku resmi mendaftarkan aku sekolah. Ku lihat lagi selembar ijazah yang dikampit oleh Kakekku. Ku perhatikan baik-baik. Ada fotoku dua bulan lalu. Lucu. "Itu apa Kek?" aku menunjuknya. "Ini ijazah sekolah Neng yang dulu di Jakarta. Buat daftar sekolah disini" kemudian Kakekku menjelaskan. Tidak satu orangpun diantara barisan pendaftaran sekolah itu yang membawa lembaran bernama ijazah sepertiku. Nampaknya cuma aku seorang. Senin diminggu pertama sekolah. Aku sangat gembira. Seragamku kini putih merah terpisah. Rok rempel jahitan Nenekku dan kemeja putih bekas sekolah Taman Kanak-Kanakku dulu di Jakarta masih terpakai dan layak. Meski seragamku bekas, tetap terlihat paling bercahaya. Entah? Rasa-rasanya semua anak disini seragamnya tidak disetrika, apalagi mengkilat seperti seragamku. Sejak Ibuk

We were the IELSP Cohort 8 - Iowa State...

Okay, now let me show my IELSP Cohort 8 - Iowa State family.. I lived with them for 2 months during exchange program, obviously we never knew each other before IELSP. We came from the differences of provinces in Indonesia, from Sabang to Merauke, then we made friends, love, and togetherness.. I love u guys, thanks for filled in my heart for 2 months in Iowa.. Hoped can meet you again in the other occasion.. :D She is Sari Ayu Maghdalena, also known Alien. She was my roommate.  She was biology student at her university. Came from Medan, North Sumatera. Alien was like my daughter. She could not cook, I felt really pity of her when she was hungry. Haha. Then, I always cooked for us then we eating together. I loved to make dinner meals for us, for breakfast we were such 'anak kosan' it was expensive time to take breakfast. We slept over then woke up late. Haha, never 'mandi pagi' as well because of the weather was so COLD just "kucek-kucek' mata, make up, and wen

Japan! I promised u that I would be back!

Tokyo, 25 April 2011 Sekitar pukul 05.00 waktu setempat (Bandara Narita Tokyo) kami landing dari Minneapolis. Kebetulan saat itu rombongan IELSP Cohort 8 Iowa State University sudah tidak ditemani oleh pihak IIEF. Ali Ibrahim sebagai ketua rombongan dan saya sebagai wakil ketua rombongan. Sebagai orang yang sedikit mengerti dunia pesawatan saya mengambil peran lebih banyak saat kepulangan rombongan. Khususnya hari itu.. Delta Airlines (Pesawat kami) terkena petir Setelah mengantri di Security Check Bandara Narita saya segera mengalihkan teman2 untuk menuju Gate kami. Saat itu masih tidak banyak orang, kami berlari 'hurry' karena waktu transit tidak lama dan FYI : security check bandara narita 'agak' remphong, ribet, dan antrinya panjang, maklum Narita adalah salah satu bandara sibuk di Dunia. Setelah menunggu tiba2 ada pengumuman kalau pesawat kami akan delayed selama 30menit. Its okay , itu biasa. Kita tidak pernah tahu apah yang terjadi diudara. Tiba2, delayed