Saya kagum padanya, disaat lingkungan seumurannya menyuruh anak-anaknya bekerja ke Kota. Ia meminta saya untuk 'melanjutkan' sekolah..
Dengan sadar saya tahu, bahwa Ibu saya yang tentu tidak akan pernah membaca note ini. Tetapi saya yakin, emosi saya saat menulis ini mampu ia rasakan di ujung Desa terpencil tempat tinggalnya.
Ada banyak hal yang tidak mampu saya uraikan hanya dengan kalimat manis. Ibu, begitu mulia sepanjang masa.
Allah menskenariokan nasib setiap orang begitu berbeda, ada yang begitu dekat dengan orang tuanya, ada yang "jauh dimata dekat di hati", bahkan ada juga yang "dekat di mata, tapi di hati bagaikan kutub Utara dan Selatan" Namun semua pasti ada tujuannya.
Sejak kecil saya hanya beberapa tahun saja menikmati kasih sayang 'secara langsung' dari Ibu saya. Kondisi keluarga yang 'sangat tidak memungkinkan' membuat saya harus 'dititip-titip'. Tapi lagi-lagi saya bersyukur karena masih bisa bersekolah.
Sejak perceraian dengan Ayah saya Ibu berkelana ke Kota untuk mengadu nasib. Beliau bukanlah wanita 'out standing'yang serba bisa. Beliau juga bukanlah wanita 'well educated'yang bisa diterima di berbagai company. Apalagi masa orde baru yang serba 'tertutup' berbekal ijazah sekolah menjahit di Depok tahun 80-an Ibu bekerja di sebuah perusahaan Garment di Tanjung Priuk. Dengan hasil keringatnya Ibu pulang satu bulan sekali ke Kampung kami, demi menghidupi saya yang kala itu masih berumur 1,5 tahun. Ibu keren!
Saya tinggal di sebuah kampung pedalaman Kabupaten Lebak dengan Kakek dan Nenek saya. Adik Ibu yang bersekolah SMP kala itu sering kali mengasuh saya. Karena Kakek dan Nenek saya sudah sepuh dan hanya saya yang tinggal bersama mereka, terkadang ketika Mamang-mamang (Mamang = om) sekolah maka saya dititipkan ke tukang warung yang mengasuh saya sampai sore. Umur 2 - 4 tahun saya bersama tukang warung, Kakek-Nenek, dan Mamang. Sampai Mamang saya lulus sekolah dan saya beranjak jadi 'anak kecil' saya hidup bertiga dengan Kakek dan Nenek saya.
Karena Kakek saya cukup 'keras' maka tidak ada cucu-cucunya yang lain tinggal bersama atau sekedar menginap di rumah kami. Setiap malam kami hanya bertiga, rumah panggung kayu, tanpa listrik, dan jauh dari keramaian Kampung. Begitu terpencil, begitu sederhana. Kakek adalah pensiunan Veteran pejuang '45, pejuang kemerdekaam RI, berperang melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Saya sendiri sejak kecil diam-diam mengagumi sosok 'Leadership'-nya yang kuat, ketegasannya, dan disiplinnya yang tinggi. Tapi sayang, lagi-lagi seperti kata Ulama "Iman itu tidak bisa di wariskan" Saya tidak melihat sosoknya menempel pada anak-anaknya. Tapi bagi saya sebagai cucunya. Satja Winata adalah Kakek, sekaligus Ayah, sekaligus teman bermain, teman belajar, teman mengaji, teman tertawa, teman bercerita, teman mengadu, teman berkebun, teman berdiskusi, dan Guru pertama kehidupan sebelum saya bertemu guru-guru saya di sekolah. Beliau sangat mencintai saya.
Ketika Kakek dan Nenek saya meninggal (hanya berbeda 40 hari) hidup saya seperti terhenti. Saya bahkan pernah meminta maaf kepada Ibu dan Ayah kandung saya, barangkali jika saya jauh lebih mencintai Kakek dan Nenek saya ketimbang mereka ketika itu. Tapi Ibu saya mengerti, kedekatan emosi saya dengan Kakek-Nenek jauh lebih besar daripada dengannya. Kakek dan Nenek sayalah yang mengajarkan saya pertama kalinya mengenak huruf 'Alif', Ba', Tsha, ... Juga mengajarkan gerakan-gerakan solat sejak saya berumur 2 tahun. Memperkenalkan saya, bahwa di dunia ini ada yang namanya 'sepertiga' malam dan mata saya sering terjaga ketika beliau berdua terbangun hanya untuk bermunajat kepada Sang Maha Rahman.
Sementara Nenek saya, sebagai pengganti Ibu kala itu. Bagi saya adalah sosok penyabar yang 'mampu' mengimbangi ketegasan Kakek. Ikhlas, benar-benar ikhlas hidup bersama hingga ajal mejemput mereka. Nenek saya adalah wanita sempurna menurut saya, karena kesabarannya, ketaatannya kepada suami, serta baktinya yang besar dalam suka maupun duka. Mungkin bahasanya zaman saya sekarang "Man needs power" dan Nenek saya bisa menjadi topangan Kakek saya.
Kakek dan Nenek saya adalah sosok Idola bagi saya, sosok panutan dan dari tangan halus merekalah saya tumbuh 'berbeda' dengan lingkungan saya.
Ibu, Ibu adalah anak ke 7 dari 12 bersaudara. Namun, karena 5 dari 12 anak meninggal Ibu menjadi anak ke-5. Zaman dulu, kasus Mortalitas Bayi sangat tinggi 5 dari anak Kakek-Nenek tidak bertahan hidup. Sementara hanya dua anak yang wanita, Ibu dan teteh-nya, saudaranya yang lain laki-laki (3 Uwa- Pak De', dan 2 Mamang-Pak Le'). Saya hanya hidup dari cerita. Saya tidak pernah tahu perjalanan masing-masing dari semuanya. Yang pasti saya tahu cerita dari Ibu setelah Ia meninggalkan Kampung. Kehidupannya di kampung hampir sama dengan yang saya lihat saat ini, agak sedikit berbeda dengan penambahan teknologi 'sederhana' ala Desa.
Ibu sempat pindah-pindah tinggal karena 'ingin bersekolah' zaman dulu susah sekali untuk bersekolah di Kampung kami. Tidak ada sekolah. Kakek itu pintar gara-gara beruntung saja sekolah di sekolahannya Belanda, setelah Belanda dan Jepang hengkang malah tidak ada sekolah. Sekalipun ada jauh sekali dan tidak ada yang mengajar. Itu terjadi pada generasi Ibu dan teman-temanya. Ibu sempat pindah ke Salatiga dan tinggal bersama adik Kakek yang 'lumayan' namun saya beliau kurang beruntung dan tidak sekolah juga, sampai akhirnya pulang lagi dan dengan perjalanan panjang menyekolahkan kedua adiknya beliau selesai juga bersekolah menjadi di Depok. Keahliannya hanya menjahit.
Singkatnya, saat saya berumur 4 tahun Ibu menikah lagi. Saya punya Ayah Tiri, dan juga keluarga tiri. Saya tentu saja senang. Ada Ayah 'beneran' apalagi Kakek-Nenek saya semakin sepuh. Beliau berdua selalu mengkhawatirkan saya, bagaimana nanti jika mereka tiada? Siapa yang akan merawat saya? Tetapi kemudian saya punya keluarga baru. Meskipun ternyata saya tetap harus kembali ke Kampung setelah satu tahun mengenyam TK di Ibu Kota.
Sepanjang SD saya lewati bersama Ibu, meskipun tidak sepenuhnya. Yah 2-3 tahun kami tinggal serumah. Sisanya saya bolak-bolak ke rumah Kakek-Nenek. Yah, dinamika rumah tangga setiap orang pasti berbeda, begitupula dengan Ibu dan Suaminya. Saya, hanya anak kecil yang tidak mengerti masalah orangtua.
Kehidupan masa kecil saya di Kampung selama SD sedikit saya ceritakan di note sebelumnya. Begitupun perjalanan saya dengan Ibu. Kondisi perekonomian dan lingkungan kami di Kampung menuntut Ibu harus kreatif, beliau tidak bisa ke sawah karena hampir 3/4 umurnya tinggal pindah-pindah dan tidak di Kampung. Jadi yang namanya 'ngoyos' (memanam padi) Ibu tidak bisa. Ibu buka jahitan, punya warung, punya usaha kripik, kreditan barang-barang kelontongan dan baju. Di Kampung jangan di samakan dengan di Kota, mungkin barang-barang yang dikota '2 tahun yang lalu' di Kampung bisa baru booming sekarang. Ibu kerjain apa ajah yang penting halal, Ibu mandiri tidak bergantung pada Suaminya yang bekerja di Kota.
Tapi sayangnya, karena Ayah tiri saya bekerja di Kota maka Ibu harus 'bolak-balik' ke Kota untuk waktu yang tidak dapat dipastikan. Kadang saya yang menjalankan usaha-usaha Ibu sewaktu SD. Di setiap kesulitan hidup itu kemudian mendidik saya untuk mandiri. Sejak kecil saya tidak pernah meminta uang jajan pada Ibu, tetapi Ibu memberi "jatah" jajan sekolah. Saya tidak pernah minta dibelikan sepatu baru, buku, tas sekolah. Tidak pernah. Saya berjualan ke sekolah, upahnya saya tabung. Awal ajaran baru tabungan saya buka untuk barang-barang yang baru.
Ibu saya tidak pernah sedikitpun memaksa saya untuk begini dan begitu, ibu saya tidak pernah menyuruh saya. Tetapi entah kenapa saya selalu giat? Ibu saya bahkan tidak pernah "Ayo solat", "Ayo ngaji", "Ayo belajar" sama sekali tidak pernah mungkin hanya sesekali saja. Sejak SD beliau selalu bilang, "Ibu tahu, tanpa Ibu suru kamu sudah tahu apa yang harus kamu lakukan" Ibu saya juga tidak pernah sekalipun memukul saya, seperti Ibunya teman saya yang 'ringan tangan' sampai kami ketakutan. Sekalipun saya 'nakal' misalnya pulang sekolah main perosotan di Tanah Merah pulang-pulang baju kotor, berenang nyari ikan di sawah lupa izin, atau berantem dengan teman2 cowok (sampai pernah saya diikat di hutan Karet seorang diri tapi saya tidak menangis). Ibu pasti ngomel dan saya nangis, saya pasti masuk kamar nangis sendiri, terus keluar beberapa menit kemudian dan udah baik lagi. Ibu orangnya baik, bukan cuma pada saya dan adik saya tetapi juga pada teman-teman dan anak-anak kecil. Hingga saat ini rumah kami selalu ramai oleh anak-anak kecil, yang nonton tv, yang baca buku, yang main, yang cuma duduk-duduk ajah. Ibu rela rumahnya kotor oleh anak-anak kecil yang "nongkrong" tapi mereka senang.
Ibu suka sekali lagu 'Teluk Bayur' entahlah, Ibu selalu cerita hidupnya saat tinggal di sini, di sana, kerja di sini di sana. Bekerja dengan segala keterbatasan pendidikan yang Ia miliki. Satu pesan Ibu "Ibu ini sudah bodoh, kamu jangan kayak Ibu yah, kamu harus pintar!" Ibu...
Suatu ketika saya sudah kelas 6 SD. Ibu menyadari bahwa sangat tidak mungkin saya bersekolah di Kampung. Dari rumah ke SMP sekitar 7 Km tanpa alat transportasi (alias jalan kaki) jalanya rusak, masih berbatu-batu besar. Ibu menyadari kalau prestasi saya di SD (dengan segala kekurangan guru yang kami miliki, fasilitas sekolah seadaannya) tetapi saya berpotensi harus melanjutkan sekolah ke SMP. Apalagi pesan guru-guru saya harus sekolah, sayang sekali kalau ranking 1 terus tidak lanjut. Di kampung kami, sekolah adalah barang mahal yang harus kami bayar. Masih jarang sekali yang bersekolah. Akhirnya Ibu memutuskan untuk mengosongkan rumah di Kampung dan mengontrak rumah di Teluk Naga. Saya sekolah SMP, adik saya sekolah SD, dan kami tinggal seperti keluarga untuh setiap harinya.
Lagi-lagi Allah berkehendak lain. Hari itu juga sekitar tahun 2000-an tepat paginya saya menerima rapot caturwulan 1 dan anak kampung sekolah di Tangerang, Alhamdulillah masih bertahan ranking 1. Allah menguji keluarga kami, ada masalah keluarga yang pelik dan Ibu sakit. Yah sakit. Saat itu saya tidak tahu harus berbuat apa? satu-satunya orang yang mencintai saya, beliau sakit. Kakek-Nenek saya di Kampung. Saat itu saya masih anak kecil culun yang tidak tahu harus berbuat apa? Ibu saya sakit, sakit parah. Bahkan, hal terburuk yang mungkin terjadi. Ya Allah..
Saya tidak tahu harus bagaimana? Saya hanya memeluk adik saya. Beliau masih kelas 1 SD. Tidak mengerti apapun. Kami hanya menangis ketakutan. Ibu.. Ya Allah.. Aku masih sangat menyayanginya, aku masih sangat ingin bersamanya. Ibu lupa pada kami. Sakit parah Ibu akhirnya membuat Ibu, saya, dan adik saya harus kembali ke Kampung. Kami tidak menempati rumah kami. Tetapi tinggal di rumah Kakek-Nenek saya. Saya, Kakek, dan Neneklah yang dengan telaten mengurus Ibu. Lalu bagaimana sekolah SMP saya? Tanpa Ibu saya tidak bisa sekolah kembali. Yah saya berhenti sekolah!
Saya (jika saat ini mungkin saya membahasakannya stress) tidak tahu harus bagaimana? Saya masih ingin sekolah. Setelah 1 catur wulan bersekolah di Teluk Naga. Ketika pulang ke Kampung, di Kampung sudah tidak ada teman-teman SD saya. Mereka khususnya yang perempuan sudah ke kota bekerja, dan sungguh menyedihkan (tapi itu adalah hal yang biasa di kampung kami) mereka bekerja sebagai PRT. Hanya sedikit yang kerja Pabrikan, dan hanya 3 orang yang melanjutkan SMP itupun mereka tidak pulang ke rumah karena jauh. Mereka yang bersekolah sekaligus tinggal di Kobong (Pesantren) dekat sekolahan mereka. Di Kampung saya tidak ada teman.
Dua bulan berlalu Alhamdulillah kondisi Ibu membaik. Kemudian Kakek saya segera mendiskusikan untuk tindakan apa untuk saya? Kakek saya adalah orang terdepan yang berkata. "Si Neng harus sekolah. Sesusah apapun kamu. Kalau memang tidak ada biaya, pakai uang pensiun Bapak, klo kurang jual ajah tanah warisan dari Bapak. Kalau kurang juga jual sisa Tanah, Sawah, Kebun yang masih Bapak punya. Si Neng amanat Bapak. Bagaimanapun anak ini harus sekolah. Karena anak kamu inilah yang suatu hari bisa mengangkat derajat kamu.." Sambil tidur ayam saya mendengar suara Kakek saya. Alhamdulillah, hingga saya lulus S1 tidak ada sejengkal tanahpun yang kami jual. Allah memperkenalkan saya pada ciptaan manusia yang namanya beasiswa.
Ternyata tidak ada jalan lain, dengan segala pertimbangan, jalan satu-satunya adalah menitipkan saya kepada keluarga Ayah kandung saya (Apa) di Tangerang. Ini sudah keputusan akhir. Saya berat, Ibu apalagi. Saya hanya sesekali saja berkunjung kerumah keluarga Ayah kandung saya jikalau liburan SD. Tapi tidak pernah sebelumnya tinggal bersama. MashaAllah..
11 Januari 2001
Ibu resmi mengantarkan saya ke rumah Uwa (Kakak perempuan Apa) yang paling dekat dengan Ibu dan Apa, Ibu Elly namanya. Disinilah, di rumah Ibu Ellylah untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya bertemu dengan Apa. Apa, yang karena-nyalah saya ada di dunia ini. Yang atas takdir Allah saya adalah keturunannya. Untuk pertama kalinya. Setiap saya berkunjung sesekali ke rumah keluarga Apa tetapi tidak pernah bertemu dengan Apa sekalipun. Hingga saya tidak tahu kalau laki-laki separuh baya yang duduk di teras rumah Ibu Elly adalah Ayah kandung saya sendiri. Rabb..
Saya resmi tinggal di rumah Ibu Elly, Ibu pulang kembali ke Kampung.
Unfortunately,
"Allah hanya menguji orang-orang yang Dia pilih, orang-orang yang pantas mendapatkan ujian-Nya.."
Esok harinya, Apa dengan enaknya bilang. "Aaah udah Neng, kamu ikut Ujian SD lagi yah di sekolahan Apa. Tenang ajah, toh di ijazah juga tanda tangan Apa. Yang penting lulus dan bisa daftar SMP di sini kan? Kamu udah ribet banget kalau pindah-pindah sekolah. Kamu udah tidak sekolah 2 bulan. Koneksi Apa tidak sampe ke sekolahan kamu yang dulu. Lagipula ijazah SD kamu masa nama Bapak tiri kamu. Yah, sekarang santai-santai ajah sama Ibu Elly disini, atau mau pulang lagi ke Kampung sambil nunggu anak-anak kelas 6 Ujian?"
Allah.. Airmata saya tertahan, tergenang sempurna. Saya tidak sanggup menerima kenyataan kalau saya harus berhenti sekolah. Saya tidak sanggup kalau saya yang sejak SD selalu bercerita di depan kelas kalau impian saya adalah saya bisa sekolah sampai SMEA (waktu itu belum tahu kuliah) dan harus putus di SMP. Saya tidak kuat kalau saya harus berhenti menghitung Matematika yang kala itu pelajaran kesukaan saya. Saya tidak sanggup jika guru-guru saya yang begitu berharap lebih kepada saya harus bersedih karena saya putus sekolah. Saya tidak sanggup jika amanat Kakek saya bahwasannya saya bisa mengangkat harkat dan derajat Ibu saya terhenti di sini. Saya tidak kuat ya Allah. Saya tidak mampu kalau sisa hidup saya harus melakoni dunia PRT seperti teman-teman saya yang lain. Saya tidak sanggup ya Allah.. Lalu saya berlari ke kamar Ibu Elly, saya menangis. "Ibu, Neng masih mau sekolah bu..."
Ibu saya belum tahu final decision Apa. Tidak tahu harus mengabarinya melalui apa? Sampai akhirnya saya menulis surat ke Kampung bahwasannya lebaran Haji saya akan pulang. Saya tinggal bersama keluarga Ibu Elly, kebetulan anak kedua Ibu Elly, Ka Lili (Kakak supupu saya, sudah seperti Kaka saya) sudah berumah tangga. Rumahnya persis di seberang rumah Ibu. Ka Lili Polisi, istrinya Teh Enung Bidan, anak-anak mereka masih kecil Adrie (4 tahun) TK Nol Kecil dan Lulu 2,5 tahun Playgroup. Karena Ibu Elly dan Suaminya sudah pensiun, Ibu mensarankan saya tinggal bersama Ka Lili dan Teh Enung sambil ngasuh Adrie dan Lulu.
Satu bulan berlalu saya tinggal di Tangerang kemudian lebaran Haji saya pulang ke kampung. Saya masih home sick sama Kampung. Walaupun di sisi lain sudah mulai betah di Tangerang dengan kegiatan baru ngurusin Adrie dan Lulu. Ada Bibi sih di rumah, tapi Bibi kerjaannya banyak. Jadi ngaterin sekolah, nyuapin makan, mandiin anak-anak, nemenin main, nyapu, ngepel, belanja ke pasar, jadi tugas saya. Tapi keponakan saya sangat 'nakal' dan saya cukup shocked dengan asumsi saya juga masih kecil. Mungkin karena mereka masih anak-anak balita, "Ini orang siapa sih tahu-tahu tinggal dirumah aku?" jadi sering banget "Pulang sana! Ini lumah aku. Kamu tiapa? Eng'acuk eng' umah Lulu" dan karena nggak sekolah juga sehingga membuat saya tidak ada alasan untuk bertahan.
Jadi pulang saja ke Kampung sambil nunggu Ujian SD. Ternyata pas pulang, bener-bener sudah tidak ada teman. Ibu Alhamdulillah sudah baikan, sudah kembali mengisi rumah kami. Saya membantu pekerjaan dan kesibukan Ibu. Suatu hari yang tidak pernah saya lupakan seumur hidup saya. Ketika saya sedang berusaha mengembalikan kepercayaan diri saya, sedang meyakinkan diri saya kalau beberapa bulan lagi saya pasti akan sekolah lagi. Beberapa bulan lagi saya akan sekolah SMP di Tangerang.
Di saat saya sedang menganggur karena berhenti sekolah itulah, seseorang berkata pada saya. Ibu-ibu entah kemana hatinya? : "Alaaaah nggak sekolah kan ujung-ujungnya. Mangkanya kalau orang kampung yah tetep orang kampung. udahlah jadi pembantu ajah kaya anak kampung" Saya cuma pegang dada, lari sekencang-kencangnya yang saya bisa lakukan menuju rumah kemudian menangis dikamar sambil solat, dengan berlinang airmata "Allah, salah saya apa? Kenapa harus saya ya Allah? Jika engkau menghidupkan saya maka tolong bantu saya. Kenapa harus begini ya Allah?"
Untungnya Ibu saya tidak ada, beliau sedang ke Pasar. Saya hingga saat ini tidak pernah bercerita kepadanya. Setelah Ibu sakit tahun 2000 silam hingga saat ini saya hanya bercerita yang baik-baik saja. Susah saya telan sendiri, saya tidak mau Ibu sedih. Saya tidak mau Ibu menangis karena 'mimpi2' saya. Yang seneng ajah yang diceritain.
Hampir 7 atau 8 bulan menganggur karena berhenti sekolah dengan segala kemurahan hati Apa issuedjuga ijazah saya. Saya yakin ijazah itu bukan hasil belajar saya. Buku2 saya entah kemana karena Ibu sakit pindahannya sudah tidak bener. Selama nganggur saya juga tidak pernah belajar dan latihan soal-soal. Ijazah SD saya hingga saya masuk SMP adalah hadiah terindah dari Apa selama saya dan beliau hidup. Kompensasi atas dirinya yang tidak pernah menafkahi saya. Alhamdulillah saya akhirnya sekolah SMP. Yah di SMPN 8 Tangerang.
Entahlah, ada hal menyedihkan saat mengikuti Ujian SD di sekolahan Apa. Apa adalah kepala sekolah. Jelas ada anak-anak yang suka dan tidak suka. Hari pertama saya Ujian di depan toilet saya di serbu segerombolan anak-anak SD kelas VI.. "Eh, lo yah. Anak Pak Taufik? Oh jadi lo.." (dengan gaya-gaya sinetron masa kini). "Gw pikir anak kepala sekolah itu kayak gimana? Ternyata anak kampung!" (sambil didorong). Saya cuma diam dan menunduk. Saya tidak mengadu pada Apa yang selalu disibukkan dengan catur-nya. Saya kemudian ke Kantor Tante (Adiknya Apa yang kepala sekolah juga SD-nya satu komplek). Saya cuma bilang "Ma (dikeluarga Apa manggil Tante itu Mama) selama Ujian klo istirahat atau apa aku di kantor Mama ajah yah. Sambil baca buku.." Mama bilang, "Iyah disini ajah makan sambil belajar.."
Tapi itu bener-bener culture shocked pertama dalam hidup saya.
Karena sekolahan SD Apa dengan sekolahan SMP saya hanya beda satu tembok. Otomatis banyak anak-anak SD Apa yang bersekolah di SMP yang sama dengan saya. Awalnya saya biasa saja, sampai ada beberapa orang yang membesar-besarkan sampe ke SMP dan nyebar ke beberapa orang teman sekelas saya yang notabene tidak ada anak sekolah Apa. Waktu di ekskul itu saya di underestimateoleh teman sekelas saya. Macam, "Ah nggak pernah sekolah tahu-tahu ikutan Ujian. Lulus lagi. Dasar.." Akhirnya saya memilih untuk tidak ikut ekskul. Saya bener-bener minder. Mereka yang ngomongin ini itu. ABG-ABG kota ngomongin "sms" saya tidak tahu "sms" itu apa? saya jadinya diam saja. Saya memilih untuk belajar dan ke perpustakaan. Nggak gaul, karena merasa anak kampung. Baru kelas 3 ajah udah mulai gabung dan main.
Disangka PRT
Waktu saya hanya satu bulan tinggal d irumah Teh Enung dan Ka Lili. Setelah sekolah saya tinggal bersama lagi. Teh Enung dan Ka Lili (kaka saya) baik sekali. Walaupun kadang suka ngomel dan keras tapi hati mereka baik. Mereka tidak pernah membedakan saya dengan anak-anaknya.
6 tahun SMP dan SMA saya lewati tinggal bersama kaka saya. Numpang tinggal dirumah orang, it was not easy. Di rumah ada Bibi, tapi pekerjaan rumah banyak. Bibi tidak mampu kalau seorang diri. Akhirnya kami bagi tugas. Saat saya masuk SMP, Adrie masuk SD, dan Lulu masuk TK tapi umurnya masih 3 tahun. Kaka saya sibuk, usaha Klinik dan Rumah Bersalin Teh Enung sedang berkembang dan Ka Lili juga sering jaga. Jadilah mengurus anak-anak adalah tugas saya.
Setiap hari, bangun jam 4.30 masak air buat Adrie mandi karena jemputannya jam6. Siap2 semuanya sejak malam seperti baju, sepatu, buku pelajaran, dll. Mandiin Adrie, bajuin, nyuapin makan, sampai Adrie berangkat pasti tetep ada 'berantem' anak kecil cowok SD waaaah lagi badung-badungnya. Adrie berangkat saya langsung nyapu, ngepel teras, nyiram bunga, nyapu halaman. Sarapan, terus Lulu bangun, mandiin lulu, pake bajuin, nyapin semuanya, dan nganterin lulu ke TK. Karena saya sekolah siang dan Lulu masih 3 tahun sekolahnya saya tungguin. Bawa bekal kalau istirahat, suapin makan. Sambil nungguin Lulu sekolah saya selalu bawa buku LKS dan PR sambil belajar di TK. Karena lama kadang LKS saya sudah penuh terisi walaupun belum di suru oleh guru. Jam 11 lulu pulang TK kami pulang. TK-nya tidak jauh dari rumah dan saya naik sepeda bonceng Lulu. Sampai rumah saya siap-siap sekolah makan siang dan berangkat sekolah. Sampai jam5 sekolah sampai rumah magrib. Sampai rumah solat magrib mandi, ngajarin anak-anak belajar, siapin bwt besok lagi, sampai jam 9 baru saya bisa belajar dan tidur. Kadang kalau Bibi kecapean dan kerjaannya nggak kepegang saya yang bantuin cuci piring, masak, setrika, dll khusunya kalau libur sekolah. Karena pekerjaan saya begitu dan begitu setiap hari banyak yang mengira saya adalah pembantu di rumah teh Enung. Pasien suka pada tanya"Ibu, itu yang kecil pembantu Ibu yah? Orang mana? Sambil sekolah yah Bu? Katanya sekelas sama anak saya?" "Bukan, itu Fikri keponakan saya, karena masih kecil dibilangnya keponakan. Anaknya rajin, sambil sekolah sambil bantu-bantu" Belum lagi jika di Rumah Bersalin, kebetulan di Rumah juga teh Enung buka praktek. Jadi kalau ada lahiran yah saya membantu memandikan bayi, memberi suru, kadang kalau pasien bersalin pendatang tidak ada keluarganya saya tidur di klinik nemenin. Awalnya saya tidak kuat, saya lelah. Saya capek! Saya tidak bisa bermain. Tapi saya jalani pelan-pelan demi sekolah.
Saat itu sekolah sudah mulai asik, saya sudah mulai cuek dengan orang-orang yang meng-underestimate saya. Saya fokus belajar dan Alhamdulillah target SMP tercapai. Agar sekolah tidak bayaran. Alhamdulillah saya selalu juara umum dari kelas 1-3. Jadi ada beasiswa dari Dinas bwt anak berprestasi. Lagipula saya tidak enak, harus minta sama siapa? Ongkos sehari-hari di kasih kaka saya. Tapi kan belum ongkos angkot dan jajan. 2000 perak, Angkot bolak balik 1000 jajan 1000. Bayar uang kas. Akhirnya di siasati. Kalau ada rezeki Ibu suka ngasih sedikit-sedikit, uangnya saya tabung. Akhirnya tabungan sedkit ditambahin sama teh Enung dan Ibu akhirnya saya beli sepeda. Untuk ngater-nganter Lulu dan saya sekolah. Lumayan, setiap hari saya bawa bekal makan. Jajannya kalau hari Jumat ajah, jadi uang jatah dari teh Enung bisa di tabung. Kalau-kalau ada harus beli LKS, bayar-bayar, atau patungan apa ajah.
Hidup yang sulit akhirnya berjalan mulai baik. Walaupun Adrie dan Lulu masih suka mukul saya, jambak rambut saya, kadang nonjok dari belakang, nyuru pulang kalau saya ajarin belajar. Saya cuma nangis, mereka anak kecil. Lagipula Teh Enung sama Ka Lili baik, kalau jalan-jalan pasti saya selalu di ajak. Kalau anak-anak mau berenang pasti saya yang jagain dan antar. Kalau anak-anak mau beli buku, makan di Pizza, kemanapun pasti sama saya. Ini hidup saya. Toh juga sekarang mereka sayang sama saya dan kami sangat dekat, bahkan omongan saya sekarang terdakang jauh lebih didengar oleh mereka (Adrie sekarang 3 SMA, Lulu 3 SMP). Time is just running so fast..
Awalnya saya bener-bener tidak betah. Tapi Ibu saya dan Ibu Elly selalu bilang "Sekolah, bagaimanapun kondisinya" Bahkan Ibu Elly yang sayangnya setengah mati sama Adrie cucunya kadang suka marah kalau Adrie bandel sama saya.
SMP terlewati Alhamdulillah..
SMA agak sedikit berbeda. Saya yang waktu SMP kuper setengah mati jadi lebih pede. Khususnya pas abis Ujian sekolah saya masuk UN Terbaik dan boleh milih SMA mana ajah di Kota Tangerang masuk tanpa test. Teman-teman SD yang dulu nge-underestimate, nyerah di WC pada minta maaf. SMA saya lebih banyak di organisasi, kondisi rumah juga sudah berbeda. Pekerjaan saya lebih sedikit karena saya lebih banyak di sekolah. Kebetulah sekolah Adrie, Lulu, dan Saya deketan jadi saya lebih dekat jemput anak-anak. Nganterin les, dan ngontrol ke sekolah ketemu guru mereka kalau-kalau ada miss-information.
Saya lulus SMA, dan Kuliah di Geografi FMIPA UI (Kuliah saya menjadi cerita tersendiri bagi saya, saya nanti akan saya bagi dalam note terpisah).
Dan Alhamdulillah sudah Lulus Kuliah dan S.Si..
Pagi tadi, Ibu saya menelpon. Aaaah sebetulnya inilah yang membuat saya menulis note ini. Yah pagi tadi saat saya di rumah Tangerang. Seperti biasa kami mengobrol layaknya anak dan Ibu. Hanya saja ada point-point yang kami garis bawahi. Ada satu kebahagiaan yang tak terkira yang dirasakan Ibu saat minggu lalu bersama keluarga Tangerang datang ke Balairung UI menghadiri wisuda saya. Entahlah, kata-katanya "Neng, Alhamdulillah yah kuliah kamu selesai dan sudah wisuda. Pelan-pelan kalau dijalani ikhlas Alhamdulillah.."
Saya yakin, ada kebahagiaan tidak terkira dalam dirinya. Yang gara-gara saya kuliah. Ini menjadi beban sekaligus usaha untuk saya pribadi. Mind-set orang di kampung masih tidak mementingkan pendidikan. Teman-teman SD saya sudah pada menikah punya anak, kerja seperti yang saya bahas di awal. Kampung kami masih butuh perhatian. Oleh karena itu usaha kecil seperti membawa buku-buku bacaan dan pelajaran anak-anak dan mengikhlaskan rumah dijadikan "sarang" anak-anak kecil pada main dan belajar mudah mudahan berkah. Sambil ada waktu mengobrol dengan tetengga pelan-pelan kalau sesusah apapun sekolah itu penting.
Berkali-kali saya membahas dengan Ibu Risma (Nenek-nya anak murid saya) yang kebetulan pembantunya orang daerah Kabupaten saya. "Mereka ini sebetulnya tidak butuh uang, anak-anak ini yang bekerja jadi PRT sesungguhnya tidak tahu uang. Tapi orangtuanyalah yang membuat mereka 'lari' ke Kota dan bekerja 'seadanya' tanpa skilll tanpa education..."
Saya bersyukur, Ibu saya yang unwell-educated dengan ikhlas mendorong saya untuk terus sekolah. Dan sedikitpun tidak pernah menyuruh saya bekerja ke Kota untuk menghidupinya. Ibu saya mandiri, saya kagum padanya. Tidak pernah mengeluh. Baliau Idola saya setelah Kakek dan Nenek saya. Bahkan sampai note ini saya tulis saya belum terdaftar sebagai 'employee' di perusahaan manapun masih test-test kerja dan belajar buat daftar-daftar S2. Ibu saya sedikitpun tidak 'memaksa' saya agar cepat-cepat kerja. Tapi beliau berkata "Sabar ajah yah Neng, Ibu tahu kok yang kamu mau seperti apa? Ibu yakin kamu tidak apply ke semua perusahaan kan? Kamu inshaAllah dapet yang terbaik.."Saya cuma tertawa.. "Aaah ngehibur ajah nih Ibu Boss.." (saya suka becanda, dan Ibu suka kesal kalau dibilang Ibu Boss).
Saya pernah menangis karena terharu saat pertama kali terbang, pertama kali ke luar negeri. Jika Ibu saya bukan Siti Sopiah saya yakin saya tidak akan bisa seperti ini. Mungkin saya sudah kerja jadi PRT, menikah, punya anak dll.. Tapi lagi-lagi Ibu saya tough. Ibu saya keren!
Dengan kebesaran hatinya beliau melepaskan saya (saya yakin buat seorang Ibu, melepaskan anaknya untuk tinggal bersama oranglain, sekolah dengan penuh perjuangan itu sedih yang tak berujung). Tapi Ibu selalu support saya. Hingga detik ini.
Dan tadi saya hanya bekata, "Ibu dalam tahajud doain aku yah Bu.. Semoga senantiasa mendapatkan yang terbaik.."
"Iyah pasti.."
"Bu.. (saya tertawa).."
"Sambil kerja saya sambil apply2 beasiswa yah? Tahun depan saya mau sekolah lagi, sekolah S2.." (sambil ketawa)
"Ibu kira kamu mau S1 dulu terus kerja, terus nikah dulu gitu.." Ini dengan penuh kepolosan.
"Hahaha, saya semakin tertawa apalagi kata "nikah" kalau sebelum lulus ngebahas ini saya pasti ngambek. Tapi sekarang.. "Kan sekolah S2 juga nggak langsung bu, misalnya tahun ini daftar-daftar nyari-nyari. Tahun depan atau tahun depannya lagi baru berangkat gitu bu. Dan sepanjang itu juga sambil kerja..Nah, kalau nikah kalau ketika hal tadi Kerja-S2-Nikah bisa beriringan, Yah knp nggak? Tapi kan jodoh itu hak progratif-Nya Allah. Terserah Allah ngasihnya kapan? Kita cuma bisa berusaha memperbaiki diri dan melakukan yang terbaik sama doa.. InshaAllah ya Bu"
Gantian Ibu yang tertawa..
Lalu saya berbisik ditelepon..
"Saya mau ke Inggris, bu!" *mimpi dipagi hari*
"Waaaah, liatin ajah taran juga kesampean. Kamu kan gitu, bilang mau ke Amerika, eh ke Amerika beneran kirain becanda. Bilang mau Umrah, eh Umrah beneran.. Nih liatin ajah ke Inggris juga palingan juga kesampean.."
LOL
"Hahahahaha.." Saya ngakak guling-guling sampe nggak bisa berenti. Padahal dalam hati, Aamiin Aamiin Aamiin ya Allah..
"Mau S2 di Inggris bu, Ini seriusan deh..hahahaha.."
"Iyaaah bisa.."
"Eh, S2 masih lama.. Gini ajah deh, mau keterima kerja di tempat yang terbaik terus dapet training sebulan di London gitu bu. Nah begitu kayaknya Asik tuh. Terus tahun depannya S2 disana, gimana kalau begitu??..Hahahaha.. *Sumpah ini mimpi banged..* Aamiin Aamiin ya Rabb..
"Ibu doain kamu.. Pasti deh!.."
Ya Allah.. Di baliki kesederhanaan dan keprihatinan kehidupan kami. Bisa-bisanya saya terus jadidreamer.. Ibu saya, saya sangat menyayanginya. Ibu saya super super awesome woman..! Saya yakin kalian, teman-teman saya pasti Ibunya super super awesome dengan versi cerita yang berbeda!
Ibu kita, yang kita cinta..
Mumpung kita masih bisa berkata.. "Saya sayang Ibu.." katakanlah..
Itu akan menjadi satu kebahagiaan besar baginya..
04.47 WIB
September, 18 2012
Untuk seseorang yang saya cintai, Ibu saya.. I love u, Mom..
*F*W*
*F*W*
Comments
Post a Comment